Assalamualaikum sahabat Smart Mom, Alhamdulillah cerpenku berjudul Piyama dimuat di Lampung Post Ahad, 5 Februari 2017. Rasanya senang sekali karena menunggu cerpen ini dimuat berdebar-debar. Aku kirim diawal Desember 2016 dan dimuat sebulannya. Lama juga ya? Hehe... Desember banyak tanggal merah euy!
Cerpen ini awalnya aku kirim ke Majalah Femina saat ada lomba cerpen tahun 2015. Tapi, akhirnya aku kirim ke media lain saja, walau ada sih cerpen teman yang enggak menang, tapi bisa terbit diedisi reguler. Tapi, aku memilih untuk dikirim ke Lampung Post saja, apalagi tidak ada email informasi cerpenku akan masuk terbitan reguler, hehe...
Ide cerpen dari naik bis Padang-Bengkulu saat mudik lebaran. Lalu, sepanjang jalan aku merekam semua yang aku alami. Saat masuk kelas Penulis Tangguh yang diasuh Mbk Nurhayati Pujiastuti, aku mengesekusi ide ini. Selamat membaca!
Piyama
Oleh : Naqiyyah
Syam *)
Bus SAN melaju perlahan
melintasi Solok. Aku merapatkan jaketku. Badanku lelah, tapi mataku sulit
terpejam. Jika saja bukan permintaan Inga Liyan,
mungkin aku belum ingin pulang ke Bengkulu. Sudah tiga kali lebaran aku tak
pulang. Bagiku, pulang sama saja membawa alarm bahaya. Aku ingin melepas
lukaku, tapi bayangan kelam itu seakan ingin menelanku. Aku benci. Benci diriku
yang gagal melupakannya!
Sudah
sampai mana?
Sebuah SMS masuk.
Di
rumah makan...
Kubalas pesan singkat itu. Asam padeh,
rendang, opor ayam terhidang di meja. Segera kuambil nasi sepiring dan melahap
dengan perlahan. Kuisi perutku dengan mencoba menepis gundah gulana. Di
sampingku, duduk seorang ibu dengan balitanya. Sepertinya ibu itu kesulitan
menenangkan anaknya yang minta dibelikan mainan.
Sekilas kulihat bayanganku di cermin yang
tergantung di dinding rumah makan ini. Wajah oval, rambut hitam panjang sebahu,
kulit bersih, gigi rapi tanpa perlu dikikir. Kuusap wajahku. Tak ada yang
banyak berubah, kecuali usia yang mulai beranjak. Jika aku tak mengalami malam
menakutkan itu, mungkin hatiku telah berlabuh pada seorang pujaan hati.
Memiliki anak yang mengemaskan seperti ibu di sampingku tadi. Tapi, aku memilih
untuk meredamnya asa ini. Padahal, aku dulu pernah mencintai seorang yang
berdagu lancip dan tinggi menjulang. Pahit rasanya lidah ini menyebut namanya,
Ramdan. Aku beranjak dan membayar ke
kasir. Kupesan seduhan teh hangat yang dibungkus dalam plastik. Sepertinya
perutku mulai kram, malam ini kuharap aku bisa tidur nyenyak.
Bis kembali bergerak.
Penumpang satu per satu naik dan mulai terlelap. Kuraih bantal dan selimut
berharap segera menjemput mimpi. Apa daya, mataku sulit terpenjam. Untunglah
tak lama TV di bus ini memutar film Tenggelam
Kapal Van Der Wijck. Sebuah kisah kasih tak sampai antara Hayati dan
Zainoeddin. Aku mulai larut dalam film yang kutonton. Apakah nasibku seperti
Hayati? Samar-samar aku seakan mendengar putaran kisahku bersama Ramdan.
“Kelak, aku akan mengajakmu
mendaki Bukit Kaba.”
“Ah, tak mau, aku ingin beli
pempek panggang saja di Taman Remaja.”
“Ah, mau sampai kapan kau
takut bertualang? Naik sampan di Danau Dendam saja tak mau,” Ramdan mencibirku.
Huh, aku kesal tapi tak
menyangkal. Aku memang takut mecoba hal baru.
"Ayo, turun! Kita
istirahat dulu." Seorang Bapak menyapaku. Aku tergeragap. Berusaha
tersenyum. Kulipat selimutku dan segera beranjak turun.
"Kita sudah sampai
mana?" Tanyaku pada seorang penumpang.
"Kita sudah di Curup.
Sekitar tiga jam lagi kita sampai di Bengkulu."
Angin menusuk, dingin menyergapku. Teringat
masa kecilku. Waktu ayah mengajakku ke Curup bersama Odang Lina, kakak tertuaku
yang tinggal di Jambi dan Inga Liyan
yang kini tinggal di Bengkulu. Saat itu, kami sekeluarga melihat kebun kol sisa
orang panen. Ayah meminta izin memetik kol sisa panen kepada pemiliknya. Kami
berebutan memetik kol. Puas sekali bermain dan berlari di kebun kol. Kenangan
itu begitu nyata di pelupuk mataku. Jika
malam tiba, kami segera bersiap hendak tidur. Ibu akan meminta kami berganti
pakaian tidur. Masing-masing telah dibelikan piyama. Baju tidur bercelana
panjang.
"Anak gadis tak elok
bercelana pendek, walau sekedar di rumah," kata ibu. Hingga besar kami
terbiasa tidur dengan piyama. Kebiasaan itu terus kulakukan walau ayah dan ibu
telah tiada, hingga ketika malam jahanam itu datang. Semua karena piyama itu.
Epaper Lampost co |
Turun
di loket saja. Nanti aku jemput.
SMS dari Inga
Liyan. Hp-ku baru saja aktif. Aku sengaja mematikannya sejak di Curup tadi.
Aku menghemat baterai, walau aku sudah membawa power bank.
Kini Bus SAN benar-benar
berhenti. Semua penumpang turun dan sibuk mengambil barang-barangnya. Aku
sengaja menepi dan duduk di sebuah kursi panjang. Perlahan penumpang telah
pergi, baik yang dijemput maupun memakai jasa angkutan umum. Azan subuh
berkumandang, tapi jemputanku belum kunjung tiba. Kucoba menyandar ke dinding
dan memejamkan mata. Aku mencoba melawan rasa resahku. Bagaimana jika aku
melihat mata itu? Mata yang telah menangkap keceriaan di mataku?
Sebuah mobil berwarna putih
menuju ke arahku. Aku yakin itu mobil Inga
Liyan. Aku menyongsong kedatangannya. Kami berpelukan melepas rindu.
"Ayo naik, kita cerita
di mobil saja." Ajak Inga Liyan
sembari membantu membawa koperku. Aku tak bertanya mengapa Inga Liyan datang sendiri menjemputkan. Aku tahu Inga Liyan terbiasa membawa mobil
sendiri. Suaminya pasti sedang tidur.
Di mobil, mataku tak lepas
melihat keindahan Bengkulu di subuh hari. Melintasi Masjid Jamik, Suprapto
hingga ke Sawah Lebar. Sudah tiga tahun aku tak pulang. Rindu itu berkumpul.
Tapi aku tahan. Aku selalu beralasan segera menyelesaikan kuliah kedokteranku
di Unand. Aku tak bisa pulang walau saat Lebaran sekali pun. Namun, itu
tipuanku semata. Tepatnya, aku membunuh rasa rindu karena aku takut menemui
mata yang menikamku.
“Masuklah, kamarmu telah
disiapkan. Di lemari, piyama kesayangamu telah dicuci dan siap dipakai.
Sepertinya kau masih menyimpan piyama kembar kita, ya? Ayo dipakai,
istirahatlah!” Inga Liyan keluar
kamar, aku segera ke kamar mandi, bergegas menunaikan shalat subuh yang sempat
kutunda sejak sampai di loket tadi.
"Sarapanlah dan minum
tehnya," ajak Inga Liyan.
"Kenapa tak
membangunkan aku?"
"Kau kecapekan, sengaja
tak dibangunkan. Dang Rusdi titip
salam kepadamu, tadi dia terburu-buru berangkat ke kantor."
Aku menarik napas lega.
Setidaknya aku bebas beberapa waktu di rumah ini tanpa ada laki-laki.
"Aku belikan piyama
baru. Warna biru kesukaanmu."IngaLiyan
menyodorkan sebuah piyama berwarna biru terang dan bergaris kecil.
"Aku tak mau kembar!"
"Ah, kenapa? Kau tak
suka orang-orang mengatakan kita mirip anak kembar?"
"Bukan. Piyamanya saja.
Aku tak suka piyama kembar!" ada rasa nyeri menjalar di dadaku. Bayangan
seorang lelaki datang mendekapku dan melakukan gerakan yang tak sepantasnya
terhadap adik iparnya. Mata yang tajam itu telah menikamku hingga aku tak
berani tegak menatapnya. Aku mengigit bibirku, meremas perutku yang kram karena
aku muak dengan sikap tak senonohnya.
Inga
Liyan
terlihat kecewa, ditariknya piyama itu. Aku tak berniat menabur duka pada mata
indahnya. Biar bagaimana pun,Inga Liyan
telah banyak berkorban demi kuliahku. Dia bersedia menjaga rumah peninggalan
ayah ibu, walau sudah punya rumah sendiri.IngaLiyan
juga telah bersusah payah mengembangkan usaha keluarga, toko oleh-oleh khas
Bengkulu. Setiap bulan,Inga Liyan
mentrasnferkan uang untuk biaya kuliahku. Ah, rasanya aku sudah tak berani
membantahnya. Kusimpan piyama itu di kamarku. Kupeluk boneka beruang berwarna
coklat. Boneka itu kesayanganku sejak aku SMA. Boneka itu dibeli oleh lelaki
yang sempat singgah di hatiku. Ramdan kau di mana sekarang? Aku sengaja menutup
akses padanya. Dulu kami sekelas saat SMA. Kami sering belajar berkelompok dan
satu organisasi di PMR. Tak ada yang berlebihan dari kedekatan kami. Walau
saling mencintai, kami memahami sikap dan batas untuk menjaga adab, hingga
ketika Ramdan mengajak kakaknya ke rumahku dan berkenalan denganIngaLiyan.
Semua kisah pedih itu
bermula. Kakak lelaki Ramdan, Dang Rusdi, ia jatuh cinta pada Inga Liyan. Aku dan Ramdan saling paham, kami tak mungkin bersatu.
Walau agama tak melarang, tapi tabu di keluargaku jika ada dua anggota keluarga
menikah silang. Dengan kesadaran kami merelakan pernikahan Inga Liyan dan Dang Rusdi.
Malam telah berganti. Usai
makan malam aku segera masuk kamar. Kupandangi piyama pemberian Inga Liyan. Kubolak-balik dan membuka
lipatannya. Rasanya tak salah jika aku memakainya. Piyama kembar. Ya, seperti
piyama yang dibeli ibu, selalu sama warna dan coraknya. Aku dan Inga Liyan selalu dianggap anak kembar.
Kulihat bayanganku di cermin. Aku masih seperti dulu. Kuusap pantulan wajahku
di cermin. Berputar dan tertawa kecil. Aku keluar kamar menuju meja makan.
Kuhidupkan lampu dapur dan membuka kulkas. Kuteguk air segelas dengan tandas.
“Liyan, kamu di sana?”
sebuah suara. Aku merapatkan telingaku. Bergeser ke arah kanan. Keringatku
bercucuran. Tanganku gemetar. Suara itu kian mendekat. Lalu, lampu dapur aku
padamkan. Kudekap kedua tanganku. Aku berdiam diri di samping kulkas, menahan langkah.
“Stt...aku tahu kau di sana,
Lisa.” Sebuah tangan meraih pergelanganku. Oh tidak, aku tak lagi bisa ditipu.
Aku tak akan menyerah untuk kedua kalinya.
“Lepaskan! Kau tak berhak
menahanku!” kutahan suaraku agar tak terdengar oleh Inga Liyan. Ia pasti sudah tertidur lelap.
“Stt... aku hanya ingin
minta maaf. Kenapa kau selalu menghindar? Oke, aku salah. Tapi...aku...”
Maksudnya? Hanya? Kau telah
mendekapku dari belakang hanya kau pikir aku adalah Inga Liyan karena malam itu aku memakai piyama yang berwarna dan
corak yang sama. Kau hampir saja merampas kesucianku. Aku memang bodoh karena
tak berani buka mulut dengan Inga Liyan
karena aku tak mau merusak keharmonisan kalian! Aku berteriak dalam hati.
“Lisa, jujur...aku
sebenarnya tidak mencintai Liyan. Aku menginginkanmu, sejak kau dekat dengan
Ramdan. Aku selalu terobsesi ingin mengalahkan Ramdan. Aku iri padanya. Dia
pintar dan cerdas. Aku ingin memilikimu, aku.....”
Aku jadi teringat akan sosok
Ramdan. Dia memang pintar dan tampan. Selalu mempesona wanita di sekolahku. Dia
juga rajin membantu orang tuanya menjaga toko oleh-oleh khas Bengkulu yang
letaknya tak jauh dari toko kami. Siapa yang tak akan jatuh hati jika melihat
Ramdan yang bertutur halus itu? Aku sungguh beruntung pernah menarik hatinya.
Bahkan hingga sekarang, hatiku pun belum pernah menghapus bayangannya.
Kakiku terasa nyeri menahan
tubuhku yang mulai gelisah. Berkali-kali aku merutuk diri, mengapa aku mau
memakai piyama ini lagi. Bukankah dulu pernah terjadi karena piyama ini? Saat
itu, Dang
Rusdi menyangkal salah peluk. Salah?! Cuih,...
aku kesal mengatakan dia berpura-pura salah. Najis rasanya tubuhku pernah
didekapnya. Bahkan napasnya yang memburu itu membuat perutku semakin
teraduk-aduk.
"Lisa...."
tangannya mulai menyingkap piyamaku.
“Cukup!” aku berontak dan
berteriak. Tanganku gemetar, kutarik pisau kecil yang tersimpan di balik
piyamaku. Napasku sesak menahan amarah. Tiba-tiba, klik. Lampu dapur menyala.
Kulihat Inga Liyan berdiri dengan
mata merah. Aku mengerut. Wajah Dang
Rusdi langsung berubah pias. Pucat pasi.
“Sekarang Inga tahu kan, mengapa aku tak mau pakai
piyama yang kembar?” suaraku serak. Sebuah pisau terlepas dari genggamanku.
Padang, September
2015
Catatan
: Keterangan bahasa daerah Bengkulu :
Inga :
Kakak perempuan tengah (nomer dua)
Odang :
Kakak perempuan tertua
Dang :
Panggilan kakak untuk laki-laki
*) Ketua Tapis Blogger, Mantan Ketua FLP
Lampung
Baca Juga : Percikan Gadis : Bros "F"
wahhh bagus nih cerpenya... mau dung aku bukunya ini?
BalasHapusMbak Naqyyy...cerpennya bagus banget. Meski kalah di lomba Femina tapi cerpen ini bagus bangeet. Selamat ya cerpennya dimuat di Koran Lampung Post
BalasHapusCerpennya keren, Mbak. Meski bukan twist ending, dan sudah bisa tertebak di tengah cerita bahwa terjadi sesuatu dengan antara tokoh dan kakak iparnya, tapi ceritanya bikin geregetan.
BalasHapusSelamat ya, cerpennya dimuat. Moga aku bisa ngikutin jejak Mbak :)
Aamiin
mba...keren nih..buka dong kelas fiksi online buat blogger...pengen belajar
BalasHapusAlhamdulillah senang sekali Cerpennya dimuat, mba Naqi. Aku salut kalau ada yang bisa buat cerpen karena aku nggak bisa :(
BalasHapusSadis, Mbak... sederhana dan dalam.
BalasHapusAlhamdulillah selamat ya bunda, nggak ada tulisan yang sia-sia kan ya :hug:
BalasHapusaku jadi rindu nyerpen :-D
Selamat mbak cerpennya dimuat di Lampost.
BalasHapusBagus.
Ya Allah, diriku keren banget Mbakj...produktif... #iriii beraat akuuu
BalasHapusMaksudku, dirimuuu yg keren
BalasHapusSelamat ya mba, cerpennya baguus. Duh pengin ngefiksi juga, tapi mampet ide, enak curcol aja di blog hihi :D
BalasHapusSelamat ya, moga makin sukses
BalasHapusAku jadi pengen bobok kalo ingat judulnya
Sukkaa cerpennya, mba Naqiyya....
BalasHapusAku kangen baca cerpen seperti ini.
Jaman dl,
Cerita pendek seperti ini dilombakan di majalah (wanita).
Dan aku inget banget, suka nongkrongin lama-lama demi baca cerpen dengan konflik serta bahasa yang ngaliirr...
Haturnuhun, mba.
Bikin lagi yaa...mba.
Aku nge*fans😘
Kelas penulis tangguh? Free or berbayar mba? Mau ikut donk.. minta infonya ya mba
BalasHapusKece, Mbak Naqiy. Selamaaat yaaa :-)
BalasHapusSelamat ya :)
BalasHapusAah,terus cemunguttt lah nulisss.keren,mb
BalasHapusmenegangkan! aku pikir bakal dibunuh :D
BalasHapusMenarik.
BalasHapusWhat's up Dear, are you truly visiting this web page on a regular basis, if so then you will without doubt take fastidious know-how.
BalasHapusI do not even know the way I finished up right here,
BalasHapusbut I thought this post used to be great. I don't recognize
who you might be but certainly you're going to a well-known blogger if
you aren't already. Cheers!
Hi to every one, the contents existing at this web site are in fact amazing for people experience, well, keep up the
BalasHapusgood work fellows.
Every weekend i used to visit this site, for the reason that i wish for enjoyment, since this this site conations
BalasHapusin fact pleasant funny material too.