Pernahkah kalian merasa
sulit menulis cerpen setelah pernah mudah menulis cerpen? Aku pernah
mengalaminya. Aku bahkan kesulitan untuk memulai menulis cerpen. Mengapa?
Karena takut memulai. Takut karena teori di kepala terlalu banyak,
hahah....hingga seorang teman mengingatkan, “Tulislah!” lalu aku sekuat tenaga
menulis. Revisi, tulis, revisi, tulis, tentu saja dengan banyak membaca contoh
cerpen. Terima kasih ya sahabatku Shabrina Ws.
Tapi, dari dulu aku sulit
menulis karena imajinasi semata. Aku sering menulis berlatar kisah nyata. Jadi,
cerpen ini idenya dari berita di koran dan aku sempurnakan kisahnya dari sebuah
buku yang berjudul Lo Gue Butuh Tau LGBT
karya Kak Sinyo. Ya, cerpen ini bertema rada serem ya, LGBT. Tapi, aku
menggunakan sudut pandang perempuan. Dan, tentu karena ini cerpen pasti sangat
banyak dibumbui imajinasi.
Cerpen ini aku buat saat masih di Padang. Aku kirim ke Padang Ekpress. Kutunggu hingga 1 bulan tidak dimuat, aku tarik dan lama kudiamkan di folder dan baru aku kirim ke Lampung Post seminggunya terbit, alhamdulillah.
Pagi itu aku dapat ucapan dari Bang Isbedy Stiawan Z S di group Sastra Minggu. Wow, berasa mimpi deh. Senang sekali. Ini cerpenku yang kedua kalinya aku kirim dan diterbitkan di Lampung Post. Pertama kali ngirim dulu berjudul Pengembara Cinta.
Pagi itu aku dapat ucapan dari Bang Isbedy Stiawan Z S di group Sastra Minggu. Wow, berasa mimpi deh. Senang sekali. Ini cerpenku yang kedua kalinya aku kirim dan diterbitkan di Lampung Post. Pertama kali ngirim dulu berjudul Pengembara Cinta.
Selamat membaca ya!
Sepotong Cinta yang Ternoda
Naqiyyah Syam
Langit
berubah kelam. Hujan rintik-rintik mulai berjatuhan tepat saat perempuan itu
menaburkan bunga kenanga, mawar dan melati di pusara suaminya, Hendi. Matanya
mulai bengkak, badannya sudah sempoyongan menahan sesak di dada. Berita kematian itu cepat sekali menyebar. Semua
mulut tetangga kiri dan kanannya asyik bergosip. Perempuan itu sudah tak ambil
pusing. Airin sudah lelah untuk menangis. Diteguknya air mineral dengan
perlahan. Ditariknya napas panjang dan melepasnya dengan cepat. Menapa ia pergi
dengan begini? Airin tak menduga sama sekali. Perpisahan ini tak pernah ia
bayangkan. Padahal seminggu lagi sidang perceraiannya dimulai. Sungguh, ia
pernah berdoa ingin berpisah dengan Hendi.
Seminggu sebelumnya...
Airin
melempar koran lokal yang memberitakan kematian suaminya. Terlihat jelas wajah
dan tempat kejadian. Diikatkan rambut sebahunya ke belakang. Air matanya sudah kering. Ia tak peduli lagi
gunjingan itu. Apa kata orang? Ia istri
tak becus? Tak bisa hamil? Perempuan itu melemparkan tisu terakhirnya yang telah basah
bercampur air mata dan ingus. Jelas sekali di koran lokal itu menampilkan foto
suaminya.
“Sebaiknya
segera dikuburkan,” seorang rekan keluarganya menghampirinya.
“Aku
ingin dia diotopsi,” suara Mbk Lily. Kakak tertua Hendi.
“Tidak
perlu,” jawab perempuan itu.
“Kenapa?!”
Aku istrinya. Tidak puaskah kalian
memojokkanku? Apalagi berita itu kian luas diberitakan di koran lokal, di TV
lokal, hingga situs online. Perempuan itu berteriak. Tapi hanya dalam hati. Ia
menahannya. Dadanya sudah sesak dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Pihak
keluarga berembuk. Seorang dokter yang mengenal Hendi semasa hidupnya menolak
untuk mengotopsi jenazah Hendi. Ia terus mengatakan sebaiknya otopsi ditiadakan
saja. Toh, sudah jelas kematian Hendi karena dirampok. Sepeda motor, hp dan
laptopnya hilang.
Pihak
polisi juga sudah ramai berkumpul. Mereka menanyakan satu persatu anggota
keluarga secara detail sejak kepergian Hendi dari rumah. Ya, Hendi izin
bepergian ke Curup. Katanya di sana akan menemui rekan bisnisnya. Sejak mencoba
berbisnis pisang di Kabupaten Kepahiang, Hendi sering bolak-balik
Bengkulu-Curup menggunakan sepeda motor. Naas hari itu ia dihadang perampok dan
membuat mayatnya di dekat irigasi Danau Dendam.
Sebenarnya,
mayat Hendi sudah bisa dibawa pulang dan segera dikuburkan. Tapi pihak keluarga
tidak menerimanya. Mereka bersikeras minta diotopsi. Perempuan itu telah
berusaha menolak dengan keras. Ia tak ingin kasus ini melebar kemana-mana. Ia
sudah sangat berduka dengan cara kepergian Hendi. Biarlah ia menelan kepahitan
ini. Ia tak ingin menjadi santapan lezat koral dan TV lokal yang mengambil
keutungan dari kemalangannya. Biarlah, biar dia saja yang menanggung beban ini.
Namun,
perempuan itu tak berdaya. Keluarga Hendi tetap bersikeras untuk melakukan
otopsi. Mereka tak yakin perampokan biasa. Mereka mencurigai orang-orang yang
pernah ditemui Hendi sebelum kejadian. Lalu otopsi pun dimulai. Rasa takut
menjalar di ulu hati perempuan itu. Ia berharap Tuhan mendengar pintanya.
Menutupi aib suaminya. Aib yang selama ini ia simpan untuk ditelan tanpa
dikonsumsi publik, bahkan keluarga besarnya.
Dua
hari masa penantian yang panjang baginya. Keluarga sudah lengkap hadir di rumah
sakit. Matanya bengkak setelah semalaman menangis. Teriakan histeris keluarga
membahana. Hasil otopsi itu membuatnya gontai. Dokter menemukan cairan di
pakaian dalam Hendi.
Sebulan sebelum kematian
“Kenapa
lenganmu?” Melia menghampiri perempuan itu. Ia mencari mata yang menyimpan
banyak cerita. Perempuan itu menepisnya. Ia menjauh dan segera menutupi
lengannya. Perempuan itu memang jarang menyingkap tangannya. Ia lebih memilih
berpakaian lengan panjang demi menutupi lengannya.
“Tak
apa, aku hanya terjatuh di tangga depan dapur,” jawabnya. Tapi, itu tak membuat
Melia langsung percaya. Ia terus mendesak ingin mengetahui sebab mengapa lengan Airin yang biru, kakinya yang biru, pelipisnya yang biru dan jarinya yang
mengunakan perban. Perempuan itu tak dapat mengelak. Hanya Melia. Ya, hanya
Melia yang pernah memperhatikannya sedemikian rupa. Teman sesama mengelola Day Care Buah Hati tempat ia bekerja.
“Ini
ulah Hendi? Kenapa?!” tampak Melia terus mengejar jawaban. Perempuan itu tak
kuasa untuk bercerita. Ia tumpahkan keluh kesahnya. Berkali-kali Melia menahan
napasnya. Ah, mengapa sebegitu menderitanya perempuan cantik di depannya ini?
“Aku
akan bercerai. Aku akan melepaskan Hendi,” kata perempuan itu pada suatu sore
yang kelam.
“Kau
ingin mengalah?” tanya Melia.
“Ya,
aku ingin hidup normal.”
Entah
siapa yang ingin hidup normal. Perempuan itu atau Hendi? Buktinya Hendi memilih
jalan yang salah. Jalan yang kerap
membuat perempuan itu terperangkap dalam sunyi. Malam-malam yang membeku. Kasur
yang dingin tanpa kehadiran Hendi. Hari-hari bagai sandiwara agar tetangga dan
keluarga tidak curiga.
Suatu
hari Ia berpamitan kepada Hendi.
“Hari
ini aku pulang sore,”
Hendi
hanya menatapnya sekilas. Ia segera berlalu setelah memakai sepatu dan
mengambil tas kerjanya. Pakaian kotornya telah dibungkusnya. Hendi juga tidak
sarapan di rumah. Perempuan itu menarik napasnya.
“Aku
ikut sampai gang depan ya,”
Ia
duduk di belakang Hendi. Motor biru itu membelah kota Bengkulu. Melewati
kawasan Kompi dan berhenti di simpang lampu merah Panorama. Kemudian, mereka
akan berpisah arah. Hendi meneruskan ke kantornya, sedangkan Perempuan itu naik
angkot ke arah Kebun Tebeng.
Perempuan
itu mengigit bibirnya, ia menahan rindu. Rindu untuk di antar jemput suaminya.
Tapi itu bagai sebuah punguk merindukan bulan. Sejak malam pertengkaran hebat
yang terjadi.
“Kau
cerita apa dengan Melia, Hah?!” teriak Hendi disuatu sore.
“Aku
tak cerita apa-apa,”
“Bohong!
Tak mungkin kau tak cerita. Matanya seolah-olah ingin menelan, begitu tajam
memandang ke arah perempuan itu.
“Sungguh,
aku tak cerita! Melia hanya melihat luka di lenganku.” Isaknya. Hendi murka.
Tangannya mengepal dan kembali membekas di tubuh perempuan yang bertubuh kurus
itu.
Delapan tahun sebelumnya
Pesta pernikahan usai sudah. Perempuan itu duduk di depan meja rias. Kamar pengantin harum semerbak. Wangi melati tercium menggoda. Di meja lainnya terdapat beberapa toples berisi kue kering. Di lantai ada dua wadah makanan untuk pengantin mencicipi hidangan.
Hendi masuk ke dalam kamar. Keduanya
bersitatap dengan canggung. Duduk bersisihan dan mulai mencicipi hidangan.
Beberapa keluarga dan tamu ikut melihat keduanya. Berbisik-bisik. Beranggapan
keduanya akan menjadi pasangan serasi. Satunya tampan dan satunya cantik.
Malam kian larut. Semua tamu sudah
pulang tinggal pihak keluarga yang sibuk berberes ruangan. Ini adalah malam
ketiga setelah akad nikah. Pesta baru saja benar-benar usai. Perempuan itu sudah
sangat lelah dengan berbagai acara adat. Dilihatnya Hendi sudah tidur menghadap
ke Timur. Malam berlalu tanpa ada kisah malam pertama layaknya pengantin baru.
Hendi selalu gagal mendekatinya. Sekian kata maaf telah terucap. Hendi tak bisa
melakukan kewajibannya sebagai suami.
Lalu waktu berputar kian cepatnya. Perempuan itu tak menemukan kerlip cinta di mata Hendi. Setiap pagi, siang, sore hingga malam, Hendi tak berlama-lama menatap wajahnya. Perempuan itu terus mencoba mendekati, tapi Hendi bagai menciptakan tembok yang tinggi.
Lalu waktu berputar kian cepatnya. Perempuan itu tak menemukan kerlip cinta di mata Hendi. Setiap pagi, siang, sore hingga malam, Hendi tak berlama-lama menatap wajahnya. Perempuan itu terus mencoba mendekati, tapi Hendi bagai menciptakan tembok yang tinggi.
Semakin hari kian tampak keanehan. Bukan saja sikap dingin Hendi di kamar. Tapi
juga sebuah perlengkapan komestik yang disembunyikan Hendi di kamarnya. Sejak
memiliki rumah sendiri. Hendi memohon kepadanya untuk berpisah kamar. Belum
lagi jika Hendi menerima telpon. Ia bergaya centil dan bak seorang remaja yang
sedang kasmaran. Hancur hatinya melihat gaya Hendi , suami yang dinikahinya
dengan segenap cinta, tapi lelaki itu memilih cinta terlarangnya.
Tiga hari sebelum kematian
Perempuan
itu sudah memantapkan hati. Ia sudah lelah untuk berpura-pura. Sandiwara
pernikahannya usai sudah. Ia memutuskan untuk bercerai. Oh, demi Tuhan, ini
sulit sekali. Berkali-kali perempuan itu memegang kepalanya dan menarik-narik
rambutnya. Kepalanya seakan mau pecah. Status janda muda menjadi momok yang
sangat menakutkan! Apa kata orang nanti? Bercerai karena tidak bisa hamil?
Pihak keluarga Hendi menolak keras
keinginannya. Mereka bersikukuh bahwa Hendi masih bisa diobati.
“Dia hanya diguna-guna,”
Kakak tertua Hendi tak menerima
kenyataan adiknya berbeda. Adik kesayangannya itu menyimpang norma. Ia meminta Airin untuk bersabar. Menghentikan
gugatan cerai yang telah dikirimkan ke pengadilan agama.
Perempuan itu tak peduli lagi bujuk rayu
keluarga. Ia hanya ingin terbebas dari Hendi yang terus menekannya. Hendi terus
menutupi kebohongannya. Jika takut orang mengetahui kelemahannya, Hendi tak
segan memukulinya. Cukup sudah selama delapan tahun ia menerima pukulan,
tendangan dan tamparan. Perempuan itu hanya ingin berpisah untuk selamanya.
Tapi siang itu adalah siang yang kelam
bagi perempuan berkulit coklat itu. Hendi ditemukan tewas di irigasi dekat
Danau Dendam. Tubuhnya bersimpah darah dengan pakaian robek di sana-sini. Ia
meraung menyebut nama suaminya.
**
Pusara itu sudah benar-benar basah dengan air hujan.
Perempuan itu menyusutkan air matanya. Hatinya benar-benar hancur. Perpisahan
ini tak pernah terpikirkannya. Kini ia telah menjadi janda. Dari suami
yang ditemukan tewas terbunuh oleh
kekasih sesama jenisnya
Padang,
2016
Akhhhh senangnya cerpennya di muat di koran mbak. Dan kereeenn ^_^
BalasHapusBagus sekali mba ceritnya alurnya maju mundur y saya suka dan jadi bahan pelajaran bwt saya. Semoga bisa spt mba menembus media hehehe sukses sll mba keren bgt ❤️👍
BalasHapuskereen mbak, aku udah lama pengen banget bisa nulis cerpen :)
BalasHapusMasyaallah, bagus banget, Mba. Setuju sama mba Herva, alur maju mundurnya bikin emosi ikut dalam cerita.
BalasHapusKewwreeen, mba^^
Selamat mak naqiii.. Kerennn..ikut deg-degan.. Saya nulis fiksi blm bisa bisa juga.. :(
BalasHapusKalau misalnya baca cerpen, aku selalu inget cerpen beberapa ratus lembarku yang hilang pas jaman - jamannya make disket :((((( *nangis*
BalasHapusBtw, cerpennya bagus mbak :')
yeee, alhamdulillah
BalasHapusSelamat mak Naqi atas prestasinya ^^
BalasHapusMantaaap... Selamat ya, Mi ^_^
BalasHapusEndingnya mengejutkan, Mbak. Sangat kekinian.
BalasHapusTeknik.berceritanya juga bagus. Ayo.menulis lagi dan lagi
Keren ceritanya, Mba Naqi. Aku pernah nulis cerpen ttg LGBT juga, tapi ga pernah nyoba kirim ke Media.
BalasHapusPasti happy banget ya bisa menembus media cetak lagi. :)
Sedikit tegang membacanya, Mbak. Membaca sambil terus menebak-nebak, ada apa dengan Hendi. Dan, saya salah menduga, saya kira Hendi transgender hahaha...ternyata salaah!!
BalasHapusCeritanya bagus, Mbak. Penuh makna. Selamat ya...langganan dimuat media, nih! Kereen...!
Kereeeen. Makin sukses ya mbak Naqi
BalasHapusKereeen. Suka sama karyanya mba. Aku kok mumet banget ya klo mau bikin cerpen, ajarin duunk mbaa #eh
BalasHapusBarakallah Mba..
BalasHapustegang bacanya, jadi ingat Kak Sinyo Egie dan perjuangannya bersama teman-teman
suka alur majunya, potongannya pas mba Naqy, sukses terus ya :)
BalasHapusMasya Allah, bagus cerpennya Mba^^
BalasHapusAku belum pernah berani ngirim ke media nih. Harus dicoba ya Mba, kalau nggak nyoba nggak akan tau kemampuan kita.
Cerpennya baguus :)
BalasHapusLanjuut. Selamat ya, Mbak... :)
BalasHapusKereen. Salam kreativitas, Mbak.
BalasHapus