Bakso Idaman |
Kisah ini pernah aku tulis juga di blogku. Edisi re post sih, latihan menulis kisah sejati hehehe... pernah juga kukirim ke Gado-gado Femina tapi ditolak hihihi..
Uek! Aku menahan mual yang terasa. Perutku terasa teraduk!
Mau muntah. Kepalaku langsung pening. Bau tanah tiba-tiba menyeruak
menyesakkan!
Ini pertama kali aku diajak suami ke sebuah pasar
tradisional Purbulinggo, kampung halamannya. Disebuah Kabupaten Lampung Timur.
Hari ini tepat 1 minggu setelah pernikahan kami. Pagi-pagi ini rencanakannya,
Ia akan mengajakku jalan-jalan. Ya, sejak menikah aku telah memutuskan untuk
mengikutinya tinggal di kampung halamannya. Nun jauh dari kota asalku. Kota
Bengkulu. Transportasi di sini hanya motor dan beberapa angkot. Tapi kebanyakan
semua warga menggunakan motor daripada angkot. Okelah, kalau soal transportasi
yang susah masih bisa kumaklumi. Toh aku masih bisa diantar jemput.
“Ayo masuk, kita sarapan disini saja,” ujar
suami.
Kupandangi sebuah
geribik dari anyaman bambu dengan alas tanah. Seorang pedagang soto menggenakan
kain batik yang sudah lusuh. Aku melirik suami dengan tajam. Aduh, plis deh!
“Kok ya nggak romantis amat sih, pilih tempat makan kok
begini sih?” protesku dalam hati.
Aku memberengut. Seakan mengetahui isi hatiku, suamiku hanya
bisa tersenyum dan mengandengku duduk. Dengan malas kuikuti langkahnya. Oh, ini
pertama kali aku makan di tempat seperti ini. Sejelek-jeleknya aku makan di
pinggir jalan, belum ada yang beralas tanah ataupun gorengan minyak yang
lengket begini. Kalau dibilang jorok, sepertinya memang benar. Demi
mengharginya, kucicipi sebuah tempe goreng yang ada. Pelan-pelan aku
mengunyahnya. Perut yang kosong dan rasa laparku mulai menguap!
Lalu, tibalah
semangkuk soto. Kucicipi rasanya yang tak biasa dilidahku. Soto? Aku
tak suka makannya. Aku lebih suka makan
tekwan, bakso atau siomay. Kalo soto sangat jarang. Paling soto babat yang
kuahnya santan. Tapi soto yang dihadapan aku sekarang bukan soto yang biasa aku
makan. Ini soto yang sangat sederhana. Bahannya mie putih keras, irisan kol,
touge kecil, suiran ayam goreng, sedikit bawang goreng dan kerupuk murahan! Ups
penilaianku berlebihan ya? Atau…seleraku yang ketinggian?
“Inilah realitanya.
Tempat seperti ini nanti yang akan menjadi lingkungan baru kita” ujar suami
sambil menatapku. Aku masih menahan muntah yang terus mendesak. Aku tak sanggup
menyantapnya.
“Oke, tak apa tak
habis. Masih permulaan...” Ujar suami menenangkan.
Ia paham aku menghiba
untuk tidak makan disini dulu. Paling tidak menunggu aku siap.
Belum sukses makan
soto, selanjutnya aku mulai melirik penjual bakso yang ada di desa ini. Perutku
menuntut untuk makan bakso! Dulu, biasanya aku makan bakso sendirian atau
bersama teman-teman usai perkuliahan sambil berdiskusi soal tugas kuliah.
Aku mulai hutting tempat bakso yang enak. Kebetulan setelah
2 bulan menikah,aku dinyatakan hamil. Akhirnya aku punya alasan untuk makan
bakso kehendak dari sang calon bayi. Padahal, aku emang ngebet pengen makan
bakso, hehehe....
Nah, dari beberapa bakso yang ada di desa ini,
kata orang, Bakso Angga paling enak. Kuahnya gurih dan tempatnya nyaman. Sayang
tempatnya cukup jauh dari rumah. Perlu 20 menit mengunakan motor. Bakso di
sekitar rumah pun tak ada. Agak jauh sih ada sekitar 10 menit dari rumah, tapi
aku tak berselera. Selain dengan tempatnya yang kurang bersih, bulatan baksonya tidak menggodaku. Aku tetap
pengen makan di kedai Bakso Angga. Aku sudah kangen bakso.
Awalnya suami tidak mau menemaniku makan makso. Sejak kecil
suami jarang makan bakso. Di keluarganya menyukai sayuran. Suami lebih menyukai
soto dan pecel dibanding bakso. Setelah bujuk rayu dan edingnya ngambek,
akhirnya suamiku mau mengantarkan aku membeli bakso. Maka sore itu kami
bermotoran untuk makan bakso.
“Bakso Angga aja ya, Mas. Kata orang enak
loh!”
“Bakso Ini aja, dulu Mas pernah kok makannya, enak juga,”
ajak suami ke sebuah kedai bakso.
Rasanya ingin menolak, tapi rasa rinduku
makan bakso membuatku menerima tawarannya. Baiklah, tidak ada Bakso Angga, bakso
ini jadilah. Kami pun duduk dan memesan 2 porsi bakso. Bakso pertama
setelah aku tinggal di Lampung Timur. Sekilas kulirik pelanggan di
sampingku. Kok baksonya tidak ada mie
kuningnya ya? Kok pakai touge (kecambah) ya? Nah loh?
Tak lama, semangkuk bakso hadir di depanku.
Kepulan asapnya sangat menggoda. Setelah menambahkan kecap, saos dan sedikit
sambal hijau. Dengan semangat 45 kusantap dengan lahap. Menjelang separuh telah
tandas, aku merasakan sesuatu yang beda. Hampir saja aku berteriak histeris.
Seekor kecoak di dalam mangkok baksoku. Aku langsung lemas. Perutku langsung
mual. Aku langsung muntah-muntah di samping warung bakso itu. Berkali-kali
suami minta maaf karena tidak tahu kualitas kebersihan tempat bakso pilihannya.
Padahal dahulunya tempat ini terkenal paling dinikmati. Ia minta maaf karena
tidak menuruti permintaanku untuk makan bakso di warung Bakso Angga. Aih…aku
langsung angkat kaki dengan perasaan sedih. Bakso yang kuimpikan ternyata ada
plus-nya. Plus kecoak.
Hiiiy...kecoa? tidaaaak. Aku kalau kayak gitu bakal trauma nggak makan bakso lagi
BalasHapusIya betuuul, sempat bikin trauma makan bakso sih, tapi enggak lama karena emang doyan bakso hahhaha...
HapusDuh, Mbak.... Hiiii....
BalasHapushehehe jangan ikuta mual ya :)
Hapus