Saat suami telah pergi,
rasanya ada pegangan hidup yang terlepas. Sedih dan sakit rasanya. Namun, hal
itu tak bisa dilakukan berlama-lama. Ada anak-anak yang menangis kelaparan. Ada
mata-mata yang menanti senyuman. Mereka belum mengerti arti sebuah
kehilangan. Aku terus berjuang demi cita-cita mereka, pun ketika aku harus
merawat bocah kecil yang ditinggalkan oleh ibu kandungnya sendiri yang
tak lain adalah anakku, ya cucuku sendiri. Demi mereka, aku rela tak
kenyang, tak nyenyak tidur, demi melihat senyuman dan
sinar mata mereka yang
bagiku lebih berharga.
Si
Mbok Namanya
Si Mbok, begitu orang
memanggilnya. Entah siapa nama aslinya, tidak banyak orang yang tahu. Ia hidup
sebagai janda dengan lima anak yang masih kecilkecil saat itu. Suaminya
meninggal karena sakit. Hartanya habis karena terpakai untuk biaya berobat
suaminya.
Tapi, ia terus tersenyum
menghadapi kehidupan yang penuh cobaan ini. Dalam kondisi serba
kekurangan ia terus melangkah. Ia berjuang demi anakanaknya. Saat suaminya
meninggal, ia bahkan memiliki seorang anak yang masih bayi. Sedangkan
kakak-kakaknya juga belum mengerti kalau mereka telah ditinggal sang ayah
untuk selama-lamanya.
Si Mbok dan keluarganya
tinggal di sebuah rumah kecil. Rumah sangat sederhana yang terbuat dari
anyaman bambu (geribik). Rumah itu berada di sepetak tanah yang disewanya
setiap bulan. Di dalamnya ada ruang duduk, satu kamar tidur, dan dapur.
Ruang duduk menjadi ruang serbaguna karena saat malam tiba berfungsi
sebagai kamar tidur.
Dalam ruang tersebut digelar kasur yang dipasangi kelambu
agar terhindar dari nyamuk. Kamar tidur di rumah si Mbok
juga bukan kamar tidur yang layak. Hanya ada tempat tidur dan satu
lemari kecil untuk menyimpan pakaian sekadarnya. Bila hujan deras, rumah akan
bocor. Dan yang sangat mengkhawatirkan adalah pohon besar di samping
rumah. Saat musim hujan tiba, si Mbok akan memeriksa kondisi pohon secara rutin
untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Ketika anak bungsunya masih
memerlukan ASI, ia tidak bisa memberikannya secara penuh.
Bukannya ia tidak paham akan pentingnya ASI bagi bayi di bawah usia 2
tahun. Si Mbok cukup mengerti tentang pentingnya makanan sehat untuk bayi,
tapi keadaan memaksanya untuk meninggalkan bayinya dan bekerja. Sebelum
bekerja menjadi pembantu rumah tangga di sekitar rumahnya, ia
menyiapkan air tajin (air hasil dari menanak nasi) untuk bayinya, dan memberikan
pisang rebus yang telah dilumat halus. Dengan telaten, disuapinya bayi
kecilnya.
Setelah bayinya kenyang, si
Mbok akan memandikan lalu menidurkannya terlebih dahulu di ayunan.
Anak yang lebih besar kemudian diberi tugas untuk menjaga sang adik selama ia
bekerja. Usia si kakak tidaklah terlalu jauh dengan si adik. Tapi berkat
didikannya, si kakak mulai terampil menjaga adik.
Mengumpulkan
Rupiah
Menjelang siang, ia pulang
ke rumah memeriksa bayinya yang masih terlelap di ayunan. Diberinya ASI dan
makanan, lalu bekerja lagi. Paling sedikit ia bekerja di dua rumah. Sore hari ia
pulang, begitulah rutinitas si Mbok.
Menjelang malam, ia tidak
langsung istirahat. Si Mbok punya keahlian memijat—yang entah
diperolehnya secara turun-temurun atau tiba-tiba muncul karena keterdesakan—yang
bisa menambah pemasukan untuk keluarganya. Setiap hari ada
saja yang memerlukan jasa pijatnya. Ia bersyukur karena semakin lama ia
semakin dikenal sebagai si Mbok tukang pijat.
Langganan si Mbok datang
dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan yang ekonominya pas-pasan
yang kebanyakan adalah tetangganya sendiri, sampai orang berpunya. Bagi
yang kurang mampu, si Mbok tidak mematok tarif khusus, cukup
semampunya saja. Namun, tetangganya cukup paham, biasanya mereka membayar
jasa pijatnya sekitar 15 ribu untuk pijat bayi dan 25 ribu untuk pijat orang
dewasa. Jika langganan yang berkendaraan roda empat menjemput, si Mbok bisa
mendapatkan 100 ribu atau lebih.
Begitulah si Mbok, bertahan
hidup dengan anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa. Saat
anaknya akan menikah, si Mbok tidak berpangku tangan, ia berusaha mencari
pinjaman untuk biaya pernikahan anak lakilakinya. Ia meminta tolong majikannya
untuk meminjamkan uang. Beruntung si Mbok memiliki
majikan yang baik, ia diberi pinjaman lunak yang sangat meringankan
bebannya. Gaji satu tahunnya dibayar sekaligus, sementara pembayaran
pinjaman dicicil setiap bulan. Jadi, si Mbok masih mendapatkan sisa gajinya
setiap bulan.
Mengasuh
Cucu
Ujian ternyata terus
menghampiri si Mbok yang pantang menyerah ini, bahkan setelah anaknya mulai besar
dan bekerja. Suatu hari anak perempuannya
yang bekerja di sebuah pabrik di Jakarta pulang dengan perut
membuncit. Rupanya ia tengah hamil tua. Memang
selama ini anak perempuannya
itu telah berumah tangga dan memiliki dua
anak di Jakarta.
“Ada apa ini, kok tiba-tiba
pulang?”
“Aku rindu, Mbok. Aku mau
melahirkan di sini saja,” jawab anak perempuannya.
Si Mbok jelas menyambutnya
dengan suka cita tanpa ada rasa curiga. Ia pun melepas rindu yang
selama ini ditahannya. Ya, jarak dan biaya menjadi penghalang antara si
Mbok dengan anak-anaknya. Ia tak mungkin mengunjungi anak
perempuannya di Jakarta karena ongkos bus ke Jakarta cukup mahal bagi si Mbok.
Tak lama anak perempuannya itu melahirkan bayi yang lucu dan sehat. Keluarga si Mbok pun menyambutnya dengan suka cita. Saat itu anak si Mbok yang bungsu sudah mulai sekolah, sementara kakaknya sudah duduk di kelas tiga SD.
Kejadian tragis terjadi seminggu setelah persalinan cucunya. Sepulang kerja, dilihatnya kedua anaknya yang masih SD berpelukan dan menangis. Kaget bercampur geram, si Mbok melihat kedua anaknya memberikan sepucuk surat padanya.
“Mbok..., Adik ditinggal!” tangis kedua putrinya sambil menunjuk bayi tak
berdosa yang sedang tidur di kasur kecil di ruang tamu mereka.
Dadanya terasa panas saat membaca surat dari anak perempuannya itu. Isi surat itu kurang lebih mengatakan bahwa anak perempuan si Mbok menitipkan anak yang baru dilahirkannya.
Maafkan aku Mbok, aku titip Tole ya. Aku tak bisa membawa Tole ke Jakarta.
Jika Tole tetap kuajak, bagaimana aku bekerja? Anakku sudah dua, sementara
hidup di Jakarta tidak mudah. Pihak pabrik akan memecatku jika aku terlalu
lama cuti.
Sambil berurai air mata si Mbok memeluk sang cucu, ibunya bahkan belum memberikan nama untuk anaknya. Kini, ibunya telah meninggalkannya tepat saat usianya masih seminggu.
Demi Adik
Si Mbok patut bangga dengan ketulusan salah satu anaknya yang mengalah demi masa depan kakak dan adiknya. Ya, anak perempuannya itu dulu telah mengalah untuk menunda sekolahnya demi menjaga adiknya yang masih bayi saat si Mbok bekerja. Kini, mengalah lagi demi menjaga keponakannya, anak kakaknya yang kerja di Jakarta.
“Biar aku di rumah saja, Mbok. Aku akan mengasuh Tole.”
Episode kehidupan si Mbok kembali berjalan. Anak bungsunya bisa bersekolah hingga SMA berkat kerja kerasnya dan pengorbanan kakaknya. Cucunya sehat karena dijaga oleh bibinya. Walau cukup banyak lelaki ingin meminang anak perempuan si Mbok itu, tapi ia belum berani meninggalkan Tole.
“Mungkin nanti Mbok, tunggu adik lulus SMA.”
Si Mbok tidak memaksa, ia hanya berharap yang terbaik untuk anakanaknya. Ia percaya bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Tidak pernah ada guratan gelisah atas rahmat Allah di wajah si Mbok. Si Mbok selalu riang memahami situasi, walau masalah datang silih berganti.
Subhanallah... Ini fiksi atau nyata mbak?
BalasHapusKisah nyata, Mbk.
Hapusterharu aku mba yayuk... rezeki emang gak bisa ditukar
BalasHapusbtul mbk, selalu ada jalan bagi yang berusaha dan tawakal :)
HapusSemoga si mbok selalu diberi kekuatan ya mbak
BalasHapusAmin, doa yang sama aku sampaikan untuk si Mbok.
HapusSi Mbokdan anak perempuan yang selalu mengalah diberi kemudahan Mak
BalasHapusYa, Mbk. amin ya Robb.
Hapus