Datuk dan keponakanku, Ara. |
“Ci…,
pulanglah ke Bengkulu, datuk sakit,” itu bunyi SMS keponakan. Pagi itu aku
panik karena datuk, panggilan pamanku dari keponakan, sakit darah tinggi.
“Ala,
paling alasan datuk aja mau ketemu, toh yang SMS dari Dang Acon,” suami
menenangkan. Aku sibuk berdamai dengan hatiku. Sarapan pagi itu tersa asing.
Aku tetap resah. Persiapan mengajarpun terabaikan. Tak lama ada SMS lagi.
“Ci,
datuk pingsan di rumah bawah, mulutnya berbusa,” astaghfirllah…aku menjerit.
Masih SMS dari keponakanku. Aku tetap berusaha tegak. Walau badanku mendadak
limbung. Bimbang antara pulang ke Bengkulu atau tetap berangkat ngajar.
“Hallo,
dek, pulanglah! Datuk masuk Rumah Sakit, jangan sampai terlambat, ajak Faris
dan Abi yo,” ini terpon kakakku. Setengah jam setelah SMS dari keponakanku.
“Tapi kami tak punya uang,” aku to the point
alasan menunda kepulanganku.
“Nanti
Inga transfer, hari ini juga usahakan pulang,” pesan Inga kakak keduaku.
Pagi
itu kami berangkat dari Lampung Timur setelah mencairkan uang kiriman dari Inga
dan izin kepada kepala sekolahku,. Menjelang siang kami tiba di Terminal
Rajabasa. Entah kenapa seperti kompak semua Bis ke Bengkulu hari itu tak ada,
kecuali menunggu dari Jakarta. Sedangkan travel berangkat sore dan malam saja.
Akhirnya kami lebih memilih berangkat dengan travel walaupun menunggu cukup
lama.
Selama
di perjalanan, seperti film yang diputar ulang, memoriku berputar ke masa-masa
sekolahku. Aku mengenal datuk, panggilan pamanku, adik kandung ayahku yang
aslinya bernama Meirin Sonoel itu hanya lewat surat. Ya, pamanku ini agak
berbeda dengan paman lainnya. Ia seorang pelaut yang kerja di kapal asing.
Beliau tahu saat aku SMA,aku suka mengoleksi prangko, maka jika kami berkirim
surat, pasti dibalasnya dengan beberapa prangko asli dari Negara yang
dikunjunginya. Tak cuma itu, beliau pasti menyelipkan uang di dalam suratnya,
padahalnya aku tak pernah memintanya. Lama-lama kutahu, datuk tak cuma mengirim
uang padaku, semua keponakannya alias sepeupuku dapat percikan rezeki yang
rutin dikirimnya
Datuk
datang ke Bengkulu ketika Andung, nenek kami dari ayah meninggal dunia. Belum
seminggu di Bengkulu, lalu tak lama perang Ambon bergejolak. Otomatis keluarga
melarang beliau pulang lagi ke Ambon. Melihat perang Ambon di TV, datuk sangat
sedih. Katanya beliau ingat teman-temannya, beliau ingat pernah ikut minum dan
kampung yang terbakar itu adalah tempat biasanya beliau ke sana.
Kuingat,
awal tinggal di rumahku, datuk suka bengong. Kalau diajak sholat selalu senyum
tak jelas. Entahlah apakah datuk malu-malu karena jarang sholat atau memang
sudah lupa? Datuk cerita, beliau banyak hapal isi-isi Injil daripada Al-Qur'an.
Duuu seram banget! Namun, setelah Ambon
pecah perang saudara, Datuk mulai berubah alim. Apalagi sejak rutin kubelikan
Majalah Sabili yang saat itu memang konsen memberitakan perang Ambon secara
objektif. Kami sering terlibat diskusi dan akhirnya datuk mulai rajin sholat
dan gemar membaca buku Islami yang
tersusun di Perpustakaan pribadiku. Sungguh, aku terharu.
Setelah
ibuku meninggal, datuk memilih tinggal di rumahku. Menemaniku dan juga
sepupuku. Bertiga kami di rumah. Saling menyemangati dalam kehidupan. Datuk sebenarnya
pernah menikah. Pernah bahagia tinggal bersama istri dan anak angkatnya di
Ambon. Usut punya usut, rumah tangganya tak bahagia. Karena tak punya keturunan
dan istrinya terjerat lintah darat (rentenir). Dua rumahnya dijual istrinya
membayar rentenir, hingga yang tersisa hanya beberapa asset saja. Lalu istrinya
menjadi TKW ke Taiwan dan Datuk pindah ke Bengkulu.
Anehnya
datuk tak mau lagi menikah.
“Datuk
mau di sini saja, menemani, nanti kalo menikah, datuk ikut ya!” pintanya suatu
hari. Begitulah hari-hariku ditemani datuk. Setiap hari beliau menunggu
kepulanganku dari kampus. Duduk di depan gerbang dan siap menantiku. Beliau tak
pernah rewel makanan, hanya minum kopinya yang terlalu banyak. Tapi beliau
sangat memuji kopi buatanku. Takaran yang tak berganti. Satu sendok kopi dan
dua sendok gula. Selalu secangkir kopi membuatanya tersenyu,. Mungkin, beliau
sangat menginginkan punya anak ya?
Kian
hari perkembangan ibadah datuk makin baik. Beliau rajin sholat berjamaah di
Masjid. Setiap Magrib, Isya dan Subuh paling sering Datuk ke Masjid. Datuk juga
mempelajari lagi bacaan Al-Qur'annya. Setiap Subuh selalu mengaji. Jika tak
benar bacaannya, datuk bertanya dan mengecek lagi di Al-Qur'an yang ada cara
bacanya. Datuk bergerak cepat, jika Ramadhan aku jadi malu, datuk sering duluan ngajinya.
“Datuk, nggak mau naik haji? Tanah warisan datuk cukup lho buat biaya naik haji,” ujarku suatu hari.
“Datuk, nggak mau naik haji? Tanah warisan datuk cukup lho buat biaya naik haji,” ujarku suatu hari.
“Nggaklah,
cukuplah begini. Nanti tanahnya buat Taci saja,” jawabnya. Subhanallah, tanah
itu mau diberikannya padaku? Ah, datuk terlalu baik dengan hartanya. Jika
printerku rusak, ketika aku ke kampus, diam-diam beliau membawanya ke servis.
Pas pulang, printer itu sudah baik. Tak cukup sekali, jika aku membutuhkan uang
kuliah yang mendesak, beliau segera memenuhinya. Bahkan kita aku sempat
sakit-sakitan paska ibu meninggal, datuklah yang merawatku. Beliau benar-benar
menjadikan sosok ayah yang telah tiada menemaniku sejak Tahun 1991.
Kini,
aku pulang. Sebuah perjalanan mudik yang tak diinginkan. Kakakku terus menelpon
keberadaanku.
“Sampai
di mana?”
“Datuk
sudah tidur. Datuk ngorok,”
“Tak
usah cemas, semoga perjalanan lancar,”
Begitulah
pesan telpon kakakku di Bengkulu. Kabarnya kakakku dari Jakarta dan Jambi juga
menuju pulang. Entah kenapa semua hanya bisa jalan darat. Pesawat penuh
kehabisan tiket.
“Aku
mau ngomong sama datuk,” pintaku.
“Tak
bisa, datuk sudah tak sadar lagi,”
Aku
hanya bisa menangis. Terus berdoa agar kesempatan masih ada untuk bertemu
dengan datuk. Kangen membuat secangkir kopi untuknya. Pasti beliau sangat
kesepian setelah aku menikah dan ikut suami di Lampung Timur. Menjaga rumah
sendirian tanpa anak dan istri. Datuk memang menolak saat aku mengajak ikut
serta ke Lampung Timur.
Perjalanan
nan panjang Lampung-Bengkulu mulai terasa penat setelah travel yang kami
tumpangi macet, bannya bocor. Lama menunggu semakin menambah debar di dadaku.
“Ya
Allah, beri aku kesempatan bertemu datuk,” terus doa kupanjatkan. Senang hatiku
setelah Kota Bengkulu sudah di depan mata. Travel yang kutumpangi sudah
memasuki Kawasan Pagar Dewa, sedikit lagi aku akan sampai.
“Maaf
ya Bu, ngantar bapak ini dulu, baru ngantar ibu ya, kasihan kalau mutar lagi,”
pinta pak supir. Aku mengangguk pasrah. Padahal aslinya aku ingin segera sampai
rumah.
Baru
saja penumpang pertama turun dari travel, hpku bordering.
“Sampai
mana de?” suara Kak Ucang, kakak iparku.
“Daerah
Kilometer 8, lagi ngantar penumpang,” Jawabku.
“Sabar
yo,dek. Datuk baru saja meninggal,” kata Kak Ucang.
“Innalillahi
Wa Innalillahi rojiun,” aku lunglai seketika. Tangisku meledak tak tertahan.
Allah, sejuta Tanya ingin kusampaikan.
“Mengapa
tak menungguku? Aku sudah sampai Bengkulu! Sedikit lagi sampai Rumah Sakit DKT”
ya…Allah, Astaghfirllah tanpa sadar aku mulai mengugat kuasa-Nya.
Sampai
di depan rumah, kulihat jenazah datuk yang sudah terbujur kaku. Wajahnya
tenang, bibirnya tersenyum indah. Pelayat yang datang sangat banyak, datang
silih berganti. Semua sepupuku menangis sedih di samping jenazahnya. Para
sahabatku datang saat aku SMS. Mereka bersedia
hadir dan ikut sholat jenazah.
“Tak
usah beli kain kafan, ini sudah disiapkan dari arisan kami,” ujar seorang
pengurus jenazah. Baru kutahu datuk aktif mengikuti arisan kain kafan dan
perlengkapan jenazah di pengajian bapak-bapak Masjid Syuhada. Allah, aku
terenyuh. Datuk benar-benar mempersiapkan kematiannya.
“Ramadhan kemarin, datuk ngajinya khatam,”
cerita keponakanku.
“Datuk
kangen Taci dan Faris,” lapor kakakku yang lain.
Datuk
pergi. Datuk memang telah pergi
meninggalkan dunia ini. Tapi, datuk pergi dengan sejuta cinta yang disematnya
di hati para keponakan dan cucunya. Walau bukan dari rahim istrinya, tapi cinta
yang disebarkannya tumbuh di hati-hati orang sekitarnya dan mekar dengan indah.
Jika ingat buku-bukuku akan segera terbit. Aku
selalu membayangkan senyum datuk. Senyum yang merona ketika menanti kado
datangnya doa dari kami para ‘anaknya’. Anak yatim-piatu yang datuk asuh
menjadi kuat.
Ya Allah, terimalah datuk di sisi-Mu.
Lampung
Timur, 3 November 2010
sedih baca ini... tapi Alhamdulillah di ujung usianya datuk makin dekat dengan-Nya SWT
BalasHapusiya Alhamdulillah Mbk
HapusSemoga khusnul khotimah mbak... amin
BalasHapusAamiin
HapusOrangg sebaik datuk pasti akan slalu terkenang...
BalasHapusIya nih hiiks
HapusInnalillahi wa inna ilaihi rajiuun, al fatihah buat Datuk ya mba..
BalasHapusMakasih Mbk
HapusAku punya buku ini. Untuk charity ya, mbak Naqiyyah? Aku dapat dari mbak Irianti Dewi, kakak tingkat waktu kuluah, salah satu penulis di buku ini.
BalasHapusMengharukan sekali ceritanya, mbak
mbaaa..aku nangis bacanya.. al fatihah buat Datuknya, yaa...
BalasHapusinnalillahi wa innailaihi rajiun
BalasHapusmerinding mbak. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. smoga smua amal ibadah datuk diterima Allah ya mbak
BalasHapussemoga amal ibadahnya diterima disisi-Nya mbak.. Aamiin
BalasHapusAamiin
HapusSediiiih... :(
BalasHapus