Apa reaksi
Anda ketika listrik di rumah Anda padam? Jengkel, kesal, mengomel, dan tak
jarang sumpah serapah pun keluar. Begitu kira-kira reaksi kita ketika listrik di
rumah kita padam. Jika hanya sesekali atau jarang terjadi mungkin tidak akan
terlalu bermasalah, tapi kalau sudah terlalu sering ini tentu meresahkan.
Celakanya, pemadaman bergilir ini sering kita alami. Ini bukan berita
mengada-ada atau kita harus gooling
data untuk menemukan benar-tidak faktanya? Hehe.. Saya dan kebanyakan kita mungkin sering mengalami.
Salah satu
persoalan klise yang sering dikeluhkan PLN terkait pemadaman listrik ini adalah
karena kurangnya pasokan energi listrik. Yang paling terasa ketika musim
kemarau tiba. Di saat itu pasokan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
mengalami penyusutan, atau bahkan terhenti supply-nya.
Seperti pembangkit Batutegi di Lampung, setiap kemarau bisa dipastikan air
bendungan menyusut dan tidak mampu menyuoplai air untuk pembangkit listrik. Di
waduk-waduk PLTA yang lain sepertinya tak kasusnya tak jauh beda. Penggundulan
hutan secara membabi buta belakangan ini disinyalir menjadi penyebab
sedimentasi dan kemampuan menyimpan air waduk-waduk kita.
Konsumsi
listrik kita secara nasional memang terus meningkat. di satu sisi ini pertanda
baik karena berarti aktifitas ekonomi tumbuh di tengah masyarakat [1]. Namun disisi lain, hal ini tentu mengharuskan para pemangku
kepentingan--terutama PLN yang diberi mandat oleh negara untuk menyeleggarakan
pelayanan umum di bidang kelistrikan--untuk bekerja lebih keras dan kreatif
untuk menghasilkan energi listrik dalam jumlah cukup.
Berdasarkan
data rasio eletrifikasi yang dipublikasikan oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kita akan tahu bahwa ternyata
masih banyak penduduk di Republik ini yang belum menikmati listrik. Rasio
eletrifikasi menandakan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati
listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau negara.
Dari data
yang dipublikasikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut, dari 33 provinsi
se-Indonesia, baru 14 provinsi yang rasio elektrifikasi-nya di atas 60 % [2]. Provinsi tersebut adalah NAD (76,98%), Sumut (69,68%),
Sumbar (69,37%), Babel (72,88%), Banten (63,90%), Jakarta (100%), Jabar (67,40%),
Jateng (71,24%), DIY (84,48%), Jatim (71,55%), Bali (74,98%), Kaltim (68,56%),
Kalsel (72,29%), dan Sulut (66,87%).
Sementara itu, 14 provinsi lainnya memiliki rasio elektrifikasi 41-60%.
Provinsi yang termasuk dalam kategori ini adalah Riau dan Kepri (55,84%), Jambi
(51,41%), Bengkulu (51,46%), Lampung (48,82%), Sumsel (50,30%), Kalbar
(45,83%), Kalteng (45,22%), Gorontalo (49,79%), Sulteng (48,30%), Sulbar,
Sulsel (55,20%), Maluku (54,51%), dan Malut (49,44%).
Sisanya, yaitu sebanyak 5 provinsi, masih memiliki rasio elektrifikasi
20-40%. Kelima provinsi tersebut yaitu NTB (32,51%), NTT (24,55%), Sultra
(38,09%), serta Papua dan Irian Jaya Barat (32,35 %). Ini artinya apa? Masih
banyak kerja besar yang harus dikejar oleh para pemangku kepentingan untuk
mewujudkan rasio eletrifikasi 100 persen [3].
Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, setidaknya
dibutuhkan tambahan kapasitas 5.700-6.000 megawatt per tahu untuk mengejar
ketertinggalan rasio yang baru berkisar 60 % ini [4].
Selama ini
energi listrik umumnya dihasilkan dari beberapa sumber energi konvensional
seperti dari bahan bakar minyak/Pembangkit Listrik tenaga Diesel (PLTD), dari batu bara/ Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU),
dari kincir air bendungan besar/ Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dari bahan bakar gas/ Pembangkit istrik
Tenaga Gas (PLTG),
dan dari sumber panas bumi/ Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi(PLTPB).
Sebagai
orang awam soal kelistrikan, yang saya tahu, investasi untuk menyediakan pembangkit-pembangkit tersebut tentu sangat besar.
Tentunya karena disebabkan kapasitas listrik yang dihasilkan juga besar. Maka keterlibatan swasta pun
dibuka. Belakangan yang gencar dipromosikan ke investor adalah energi panas
bumi. Konon kabarnya Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar nomor dua sedunia. Tapi sekali lagi,
investasi ke untuk eksplorasi panas bumi memerlukan dana yang yang tidak
sedikit. Investasi untuk mengekplorasi panas bumi menjadi listrik ini kenyataannya belum banyak yang terealisasi karena
berbagai persoalan, terutama menyangkut ruwetnya perizinan, lokasi yang di tengah
hutan konservasi, dan berbagai persoalan lain.
Dari kajian
liteatur dan googling sana sini, saya setuju bahwa salah satu alternatif energi terbarukan yang murah dan layak diseriuskan untuk dikembangkan adalah Pembangkit
Listrik Berbasis Biomassa/ Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm). Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang
mengacu pada bahan biologis yang berasal dari organisme yang belum lama mati [5].
Biomassa yang paling banyak tersedia dan harus dimanfaatkan adalah limbah, baik itu limbah industri maupun limbah rumah tangga, yaitu berupa sampah organik. Teknologi aplikasi yang telah tersedia untuk keperluan tersebut adalah melalui proses fermentasi biomassa hingga menghasilkan biogas (metana) yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah untuk membangkitan generator listrik.
Belakangan berbagai
riset dan uji coba terhadap aplikasi teknologi pemanfaatan biomassa untuk
energi listrik ini telah dilakukan berbagai pihak. Kementerian ESDM, baru-baru
ini (16 September 2014) meresmikan keberhasilannya mengembangkan energi listrik
dari limbah sawit di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau [6]. Proyek percontohan (pilot project)
PLT Biogas ini mempunyai kapasitas
terpasang sebesar 1 MW yang digunakan untuk mengalirkan listrik kepada 1.050
keluarga. Kelebihan PLT Biogas berbasis limbah cair sawit antara lain, siap
beroperasi secara stabil selama 24 jam, tidak dipengaruhi faktor cuaca, ramah
lingkungan, serta listrik yang dihasilkan relatif murah dibandingkan dengan
pembangkit listrik berbasis BBM (genset diesel atau PLTD). Proyek percontohan
ini berhasil atas kerjasama Kementerian ESDM, Pemerintah Kabuoaten Rokan Hulu dan Perusahaan kelapa sawit yaitu PT Arya Rama Prakarsa.
Sebelumya Kementerian
Riset dan Teknologi juga sudah merintis percontohan pemanfaatan biomassa dari kotoran
manusia (tinja) di beberapa pondok pesantren [7]. Bahkan PLN sendiri pada
Juli lalu telah meresmikan proyek rintisan pembangkit listrik tenaga biomassa dari limbah tongkol
jagung di Gorontalo [8].
Dari
berbagai informasi yang dihimpun dari berbagai artikel di atas, ada beberapa
hal yang menurut saya hal ini makin meyakinkan bahwa energi biomassa ini adalah
energi masa depan yang sangat luar biasa potensial dan “WAJIB” diseriusi untuk
dikelola PLN:
1.
Potensi biomassa kita besar: dari kotoran manusia, ternak, sampah kota,
limbah agro industri (dari indutri kelapa sawit, tapioka, karet dll). Potensi
yang luar biasa dan bisa tersdia terus menerus ini tentu merupakan potensi yang
tak boleh disia-siakan pemanfaatannya untuk hal strategis dan berguna yaitu energi
listrik.
2.
Dari bebagai uji coba yang telah dilakukan, ternyata biaya produksi
energi listrik dari biomassa lebih kompetitif. Jauh lebih murah dibandingkan
produksi menggunakan bahan bakar minyak. Hasil uji coba PLN Gorontalo yang
menggunakan biomassa dari tongkol jagung di atas menunjukkan bahwa Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di Gorontalo jika
menggunakan PLTB Tongkol Jagung dapat ditekan menjadi Rp. 1.058/kWh, sedangkan jika
menggunakan BBM BPP-nya mencapai Rp. 2.900/kWh.
3.
Pemanfaatan biomassa sebagai energi melalui sangat
ramah lingkungan dan akan sangat membantu pengurangan gas metan yang terbuang
ke udara. Gas metan disinyair memiliki kontribusi besar untuk membentuk rumah
kaca di lapisan atmosfer sehingga memicu pemanasan global. Dengan memanfaatkan
metana yang terbentuk dari proses dalam intalasi biogas dan dimanfaatkan
sebagai bahan bakar, maka potensi pelepasan gas metana ke udara menjadi
terduksi.
4.
Pemanfaatan biomassa menjadi energi listrik mungkin
saja tidak bisa menghasilkan energi cukup besar, tapi karena sifatnya yang bisa
dilakukan secara menyebar sesuai konsentrasi penduduk pengguna, justru ini
menjadi kelebihan tersendiri. Hal ini membuat investasi yang ditanam bisa
sedikit demi sedikit tapi menyebar. Saya membayangkan misalnya jika dibangun
degister-degister biomassa berbasis bahan baku tinja saja, berapa banyak pembangkit
listrik yang sustainable bisa
dibangun di kompleks-komples perumahan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Bukankah ini potensi kemandirian energi yang sudah ada di depan mata?
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut saya berpendapat bahwa sudah selayaknya PLN
menyeriusi potensi ini dengan “turun gunung” secara langsung meng-handle
potensi yang ada dengan membentuk anak
perusahaan baru yang fokus mengeksplorasi energi biomassa dan energi terbarukan lainnya. Apalagi jika melihat rasio eletrifikasi
yang masih di bawah 60 %, rasanya PLN seharusnya segera bergegas “menjemput”
potensi ini. Yang saya tahu kegiatan pemanfaatan biomassa ini oleh PLN baru
digarap dalam skala CSR (Corporate Social
Responbility). Model-model percontohan skala komersial seperti yang
dilakukan Kenmeterian ESDM yang bekerjasama dengan
pemerintah daerah dan perusahaan kelapa sawit sebagaimana telah disinggung di
atas adalah contoh yang bisa dijadikan model oleh PLN.
Sekali lagi potensi yang melimpah dari sampah
kota, tinja, kotoran hewan, dan limbah industri, adalah potensi nyata di depan mata. Saya kira langkah ini penting mengingat
energi fosil dan gas di masa mendatang ada akhirnya. Sedangkan energi bomassa
adalah energi yang selalu terbarukan selama masih ada kehidupan di muka bumi.
Jika PLN start dari sekarang tentu
akan menjadi pelopor terdepan dalam pemanfaatan biomassa untuk kepentingan
energi listrik yang lebih bersih dan hijau. Melalui lomba ini blog ini, besar harapan saya
PLN mampu mewujudkan ide saya dan PLN semakin ramah lingkungan. Selamat Hari
Listrik Nasional yang ke-69!
Catatan Kaki/ Sumber Referensi :
Catatan Kaki/ Sumber Referensi :
[1] (http://www.pln.co.id/blog/pemakaian-listrik-tumbuh-signifikan-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-menggembirakan/).
[2]. (http://www.esdm.go.id/berita/39-listrik/2719-rasio-elektrifikasi-14-provinsi-diatas-60.html).
[3]. (http://tofanhakim.wordpress.com/2010/01/13/mengejar-rasio-elektrifikasi-100/).
[4]. Padang
Ekspres, 13 Oktober 2014.
[5]. (http://www.indoenergi.com/2012/04/pengertian-biomassa.html).
[6]. (http://bisnis.liputan6.com/read/2105888/pembangkit-listrik-bertenaga-limbah-sawit-ada-di-desa-ini).
[7]. (http://www.antaranews.com/berita/451623/kotoran-manusia-jadi-biogas-listrik).
[8]. (http://www.pln.co.id/blog/menteri-bumn-dahlan-iskan-resmikan-plt-biomassa-tongkang-jagung-pertama-di-indonesia/).
Tulisan ini diikutkan Lomba Blog PLN
betul... potensi energi begitu banyak ya, hrs dmanfaatin...
BalasHapusIya Mak, betul banget :)
HapusWooow Mbak.. artikelnya.lengkap banget ...idenya kereeen..:)
BalasHapusterima kasih kunjungannya Mak, semoga kepake ntar idenya ama PLN ya :)
Hapuswah.. idenya emang keren... selain listrik, peternak juga bisa sejahtera nih :D
BalasHapussukses ya mak :)
terima kasih mak, semoga rezeki menang hehhe, amin :)
HapusWah sangat keren idenya.. jadi pengen belajar nulis kayak artikelnya mbak.. :)
BalasHapusAih keren, Mbak! Dulu pernah baca ada peternak sapi yang berhasil memanfaatkan segala kotoran sapi untuk pengadaan listrik di lingkungannya. Pernah denger juga kalo sekarang modelnya PLN membeli listrik dari pengusaha-pengusaha kecil macem ini. Lesson learned, kalo melihara sapi, diseriusin, jadi gak cuma dapet dari hasil penjualan sapi, tapi juga sekaligus bisa jual listrik ke PLN... Loh? hihihi... *masih perlu diriset lebih dalam :p
BalasHapusGood luck, Mbak :)