Demundang Biniak
Naqiyyah Syam*)
Dewi Sri (Nyang Serai) murka!
Begitu berita yang menggemparkan desaku. Semua penduduk saling menyalahkan dan ketakutan. Padi-padi rusak berat dari sawah-sawah yang sudah ditanami. Kian bertambah jumlah kerusakan, betambah pula resah. Panen gagal. Musim paceklik datang. Kini semua petani tertunduk dalam kalut. Satu hal yang menurut mereka segera ditunaikan hanyalah : upacara demundang biniak! Upacara membujuk agar Dewi Sri atau Nyang Serai tak murka lagi.
“Kita harus cepat mengadakan upacara itu Pak RT, kalau tidak kita pasti kena kutukan!”
“Iya, saya dan keluarga sudah tak tahan dengan kondisi seperti ini. Kami butuh uang dan makanan.”
“Kita harus membujuk kemurkaan Dewi Sri dengan upacara!”
“Pokoknya Pak RT harus segera bertindak!”
“Setuju?”
“Setujuuu….”
Aku terdiam lama. Pembicaraan di balai-balai rumahku terdengar samar. Benarkah karena Dewi Sri murka sawah menjadi rusak parah? Apa karena dia tak sayang lagi pada bumi Rejang Lebong ini? Jika semua aset desaku hancur dalam hitungan hari. Adakah kesalahan yang tertuai dari prilaku yang tak sengaja? Kenapa harus Dewi Sri yang dipercayai? Benarkah gara-gara Dewi Sri? Sungguh, ku ingin tahu!
* * *
Setahun terakhir ini panen padi di kampungku selalu gagal. Padahal, penduduk di desaku sangat tergantung dengan keberhasilan panen tersebut. Penduduk di desaku yang hanya terdiri dari 250 KK tersebut, rata-rata memiliki sawah, baik milik sendiri dari warisan turun temurun, atau sebagai upahan mengerjakan sawah orang lain.
Bagi penduduk di desaku, menanam padi adalah tanaman unggulan. Dari hasil menjual padi yang telah ditumbuk menjadi beras tersebut, penduduk di kampung ini dapat menyolahkan anak-anaknya ke kota, maklum di desaku hanya baru SMP yang ada. Sedangkan untuk melanjutkan SMA atau lebih tinggi lagi, kami harus ke desa tetangga atau lebih jauh lagi ke kota Curup atau malah harus ke Bengkulu ibukota Propinsi.
Namun kebahagian tak selalu terjadi. Bagai pelangi, kehidupanpun berwarna-warni Kadang suka, kadang duka, ada kala senang, ada kala sengsara. Musim paceklik mulai melanda desaku. Padi yang ditanam beberapa kali mengalami kegagalan. Padinya mati saat persemaian dan ada yang mati menjelang panen. Sebenarnya di desaku sudah ada penyuluh pertanian, Pak Dani namanya. Tapi tak banyak penduduk yang menyukainya. Aku kadang melihat Pak Dani datang ke rumah menemui Bak untuk minta waktu mengadakan pengarahan kepada penduduk. Tapi sayang penduduk masih takut-takut dengan warga baru.
Kata Hasan dalam suratnya, ia tak percaya penyebab semua ini karena kutukan! Menurut hasan, pasti ada penyebab lain. Ia berjanji akan pulang dan mencari penyebabnya. Lain pendapat dengan penduduk di desaku. Bagi mereka bencana ini akibat dari kemurkaan Dewi Sri, Dewi padi yang mereka yakini sedang marah karena penduduk sudah melupakan sebuah ritual upacara, Mereka berembuk dan sepakat untuk mengadakan upacara Demundang Biniak. Ya, tepatnya dua hari lagi!
* * *
Esoknya seluruh pemuda dikerahkan untuk membuat balai yang dibuat di tengah-tengah pemukiman penduduk. Pembuatan balai sengaja dibuat di lapangan terbuka dengan ukuran yang diperkirakan dapat menampung peserta upacara, karena semakin banyak desa yang bergabung dalam upacara nanti, maka makin luas pula balai yang dibuat.
“Jangan lupa, kumpulkan biniak (benih) yang akan diundang. Kumpulkan semua bibit yang bagus untuk ditanam pada musim tanam yang akan datang! Catat nama-nama yang sudah dibagikan, jangan ada yang terlupakan!” perintah Wak Diman seorang dukun atau pawang padi yang membagi tugas pada para anggota upacara esok. Para pemuka adat mengangguk tanpa mengerti.
Lelah usai bergotong-royong, kuayunkan langkahku pulang menuju rumah. Kulihat Emak sedang sibuk di dapur.
“Sedang apa, Mak?”
“Memilih pisang emas untuk upacara Demundang Biniak esok. Kau tolong pilih ayam putih kuning ya di kandang,” ujar Emak.
“Untuk apa Mak? Apa untuk upacara juga?”
“Iya, pilih ayam yang punya kaki dan paruh berwarna agak kehitam-hitaman dan tidak pula merah! Cepat! Nanti Bak-mu pulang bisa marah kalau perlengkapan upacara belum siap!”
“Kenapa harus ayam putih kuning, Mak?”
“Ahh.. kau ini, masa tidak tahu?! Warna putih melambangkan kesucian, suci diluar dan suci di dalam. Putih juga melambangkan cuaca yang baik, “ suara Mak sedikit bergetar menahan geram. Mungkin karena aku banyak tanya.
“Emmm… Wati mana Mak?” aku mencoba mengalihkan ara bicaraku.
“Dia ke rumah Wak Arsad latihan menari Kejai.”
“Untuk apa?”
“Kamu ini selalu tanya untuk apa! Ya…untuk upacara besok! Tak sembarang gadis dipilih. Gadis yang ikut tarian itu hanya yang masih suci belum memasuki pergaulan muda mudi zaman sekarang. Apalagi pacaran. Kita beruntung adikmu dipilih. Tari itu untuk memohon pada Dewi Sri agar benih yang akan ditanam nanti terhindar dari penyakit atau serangan hama!” jawab Mak keras.
“Trus kanapa harus tarian kejai, Mak?”
“Yaaa…tarian itu dapat membangkitkan semangat tumbuhnya benih dengan harapan panen mendatang dapat berlipat ganda dan tidak diganggu hama.”
“Tapi….Mak, kenapa kita harus menyembah Dewi Sri? Kita kan harus percaya kalau itu kekuasaan Allah semata, Mak.”
“Ahhh…sudah! Kau jangan banyak tanya! Inikan ikhtiar saja. Bukan niat lain. Kau tau apa? Cepat lah kau cari ayam dan nanti kau ambilkan juga beberapa kelapa muda di kebun. Oh…ya, nanti kalau kau memotong ayam, darahnya ditampung jangan dibuang!”
“Kenapa Mak?”
“Kenapa? Kenapa? Kenapa lagi?! Banyak tanya saja! Ikut saja kata Makmu ini! Darah itu adalah lambang bahwa dalam upacara nanti ada jamuan makan.”
“Aneh! Bukankah malah membuat orang jijik?”
“Sudah! Jangan banyak tanya lagi! Kerjakan saya perintah Mak,” suara Mak kian geram. Ughh! Aku harus bagaimana? Kakiku berat beranjak untuk melaksanakan perintah Mak. Sudahlah ku coba mengikutinya, setelah itu aku harus segera menemui Wati adikku.
* * *
Dari kejauhan kulihat Wati sedang latihan menari Kejai. Ada beberapa anak perempuan dan lelaki sebaya Wati adikku. Penari lelaki sebelah kanan dan penari wanita di sebelah kiri. Mereka sedang berlatih gerakan atau irama gendang joget Cito Nyesrai! Gerakan mereka menganyam kain kiri dan kanan, menganyam dan membuka anyaman memutar ke kiri dan ke kanan. Lalu berganti gerakan menyimpan kain ke tempat semula dan kembali ke tempat yang lain dengan gerakan kelintang kejai.
Aku mengendap-endap mengintip dari bilik sebuah rumah, tak berani mendekat. Kuurungkan niatku untuk menemui Wati. Tiba-tiba kakiku terinjak sesuatu dan oleng, aku jatuh. Gedubrak! Ugh! Aku meringis kesakitan.
“Hasan? Kamu….?” Aku terkaget-kaget melihat Hasan tiba-tiba ada di sampingku.
“Sttt…jangan ribut! Iya, ini aku.”
“Ayoo sini, ada yang ingin aku bicarakan.” Aku mengikuti langkahnya. Kini kami duduk di depan sawah milik keluarga Hasan. Sawah itu tak berbentuk hamparan hijau lagi. padi yang mulai berisi terkulai lemas. Layu tak mampu memberikan hasil seperti yang diinginkan pemiliknya, menimbulkan kesedihan pada hati yang melihatnya. Dan penyebab kerusakannya adalah kemurkaan Dewi Sri! Begitu keyakinan warga desaku. Bagaimana dengan Hasan? Aku penasaran mengapa Hasan mengajakku ke sawahnya.
“Aku tak percaya dengan apa kata mereka. Itu bukan kutukan tapi …menurutku, penyebabnya adalah hama padi itu sendiri,” ujar Hasan ketika kuminta tanggapannya.
“Aku sengaja pulang ingin membuktikannya,” ujarnya lagi.
“Lalu apa yang bisa kita lakukan?”
“Kita cari permasalahannya,”
“Maksudmu?”
“Aku yakin ada sesuatu dibalik keresahan warga desa kita.”
“Bagaimana caranya?” tanyaku. Hasan mendekat dan membisikan sesuatu di telingaku. Aku terpaku dalam tunggu.
“Oke, rencanamu boleh juga, tapi…aku tak berani kalau aku bicara begitu dengan Bak, pasti beliau tak mendengarkan kata-kataku.”
“Emmm…benar juga, kita pasti dianggap mereka anak kemarin sore, tapi…biar bagaimana pun kita harus bertindak. Bagaimana kalau kita temui saja Dang Pian, mungkin dia tahu apa yang harus kita lakukan.”
Kami segera beranjak dari sawah Hasan menuju rumah Dang Pian. Lelaki kurus, berwajah lonjong, berkulit hitam manis itu adalah mantan guru ngaji kami ketika masih kecil hingga beranjak remaja, lalu berpisah karena nasib, Hasan melanjutkan sekolahnya ke Bengkulu dan aku tetap di Lebong mencari pekerjaan, karena biaya sekolah kian mahal, ah…kapan ya sekolah itu gratis? Murni gratis tanpa iuran atau pungutan liar.
Dang Pian sedang membersihkan kandang ayamnya ketika kami datang.
“Langsung saja, Dang. Kami…tidak setuju dengan upacara itu, Dang. Tapi bagaimana mengatakannya pada Bak dan penduduk lainnya ya, Dang? Dan… Dang sendiri tidak setuju juga kan?”
“Ya tentu saja Dang tidak setuju, itu syirik. Bukan Dewi Sri yang murka. Mungkin ada ada sesuatu yang menyebabkan ini terjadi atau Allah memang sedang memberi teguran pada kita semua.”
“Aku sesuatu yang terjadi, Dang. Sepertinya ada yang aneh pada padi-padi yang rusak itu,” Ujar Hasan.
“Maksudmu?” tanyaku heran.
“Aku tak tahu pasti, tapi bagaimana jika kita menemui Pak Dani Penyuluh Pertanian yang tinggal di ujung Desa?” usul Hasan.
“Ya, itu ide yang bagus!” jawab Dang Piyan.
Bertiga kami menuju rumah Pak Dani. Perjalanan cukup jauh karena rumah yang ditempati warga baru itu di ujung perbatasan desa. Segera kami berkumpul dan membicarakan keresahan kami.
“Beberapa kali saya sudah mencoba mengatakan pada penduduk kampung, kalau penyebab matinya padi itu bukan karena kutukan Dewi Sri, tapi karena hama wereng coklat!”
“Hah? Wereng coklat?”
“Dilihat ciri-cirinya, helaian daun daun padi yang paling tua berubah berwarna kuning. Lalu terlihat serangan jamur yang menyebabkan daun dan batang menjadi kuning dan berganti coklat dan akhirnya seluruh tanaman padi kering dan terbakar. Itu bukan kutukan! Penyebabnya bisa saja karena serangga cepat sekali berkembang biak, varietas padi yang tidak tahan hama, pola tanaman yang tidak teratur atau penggunaan pestisida yang kurang tepat sehingga tidak dapat membaski hama wereng dengan efektif.”
“Oh..........”aku mendengar dengan rasa bahagia. Benar dugaanku salah!
“Maaf, saya sudah berusaha memberikan pengarahan. Tapi baru sedikit penduduk yang mau menerima kehadiran saya di sini.” Jawab Pak Dani.
Aku tertegun mencerna penjelasan Pak Dani si Penyuluh Pertanian itu, terbayang emak dengan pisang emasnya, ayamnya, dan darah ayam. Terbayang Wati yang esok harus menari tarian kejei. Terbayang Bak yang berkumpul dengan pemuka adat menyaksikan pembacaan mantra untuk memanggil roh nenek moyang oleh pawang. Ah, ternyata Dewi Sri tak tahu apa-apa!
Posting Komentar untuk "Demundang Biniak (Di Muat di Majalah Gizone)"
Terima kasih telah meninggalkan jejak. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menghindari spam. Mohon juga follow blog, Google +, twitter: @Naqiyyah_Syam dan IG saya : @naqiyyahsyam. Semoga silaturahmi kita semakin terjalin indah ^__^