Teman-teman,
Waktu talkshow di Landmark tgl.14 Februari kemarin, aku kebagian jatah
membicarakan buku-anak yang baik dari sudut pandang orangtua. Aku mencari
referensi, mengadakan riset kecil, mengumpulkan pengalaman, dan akhirnya membuat
daftar kriteria. Di Landmark, karena waktu berbicara terbatas, aku menyebutkan
garis-garis besarnya saja. Tapi kalau untuk dishare di milis dan di grup,
tentunya perlu lengkap. Nah, ini dia. Semoga menjadi bahan pertimbangan dan
bermanfaat bagi semuanya.
Kriteria Buku-Anak yang Baik versi Orangtua.
Untuk menentukan kriteria buku-anak yang baik, paling mudah adalah dengan
membuat daftar keluhan. Buku anak yang baik, menurut orangtua, adalah yang
lolos saringan empat kriteria di bawah ini. Kriteria ini disusun subjektif
berdasarkan pengalaman saya sebagai penikmat buku anak dan ibu dari tiga putra
yang semuanya suka buku, ditambah masukan dari teman-teman FPBA. Karena
subjektif, bisa saja ada pendapat dan pertimbangan yang berbeda. Silakan.
1.Fisik
a.Jenis kertas dan penjilidan
Untuk mengejar harga murah sering penerbit menggunakan kertas berkualitas rendah
(tipis dan mudah robek). Padahal anak-anak adalah pembaca yang bersemangat,
membuka halaman dengan sekuat tenaga, berebut buku dengan saudara, membawanya
tidur bareng, bahkan secara harfiah memakan buku. Buku anak tipis umumnya
distaple, sementara yang tebal dilem atau dijahit. Sering bahkan tanpa perlakuan
"kasar" anak pun, jilidan mudah terlepas karena lem tidak kuat atau kertas robek
pada jahitannya. Buku anak seharusnya dirancang tahanbanting, tahanludah, tahan-
dibaca- setidaknya-puluhan-kali.
b.Target pembaca
Pencantuman target pembaca di cover belakang sudah dilakukan beberapa penerbit
pada beberapa jenis buku. Tapi masih banyak buku yang tidak berlabel. Ditambah
kemasan plastik segel, semakin sulitlah orangtua memilihkan buku bagi anak
dengan usia berbeda-beda apalagi membebaskan anak memilih sendiri. Idealnya,
untuk mengembangkan keterampilan membuat keputusan, anak-anak dibiarkan memilih
sendiri buku dan menghadapi konsekuensinya. Di luar negeri, anak memilih buku
sendiri, sudah biasa. Tapi di Indonesia, hal ini belum membudaya. Urusan belanja
masih jadi wewenang sepenuhnya kebanyakan orangtua. Dari sisi penerbit, keadaan
ini menyebabkan buku anak dibuat semenarik mungkin dari sudut pandang orangtua
juga. Bagi orangtua yang sudah memberikan hak memilih kepada anak, tidak adanya
label usia pada buku ini justru membuat frustrasi. Banjir buku di toko buku yang
tidak semuanya aman bagi anak membuat mereka lagi-lagi harus "merecoki" pilihan
anak. Menurut saya, kalau penerbit dan toko buku bekerja sama membuat zona buku
aman untuk anak, atau melabeli semua buku anak dengan target usia spesifik, akan
semakin banyak orangtua menyerahkan keputusan memilih buku kepada anak mereka.
c.Warna
Daya tarik buku anak terutama terletak pada ilustrasi dan warna. Untuk mengejar
harga murah, lagi-lagi, dikorbankanlah daya tarik visual ini. Cover buku bisa
jadi colorful, tapi isi di dalamnya hitam putih dan membuat anak kecewa.
d.Harga
Buku bagus identik dengan harga yang relatif mahal. Bisa dimaklumi. Tapi untuk
buku anak, ini menyedihkan. Nasib bangsa kita di masa depan terletak di
tangan-tangan mungil ini. Penulis dan orangtua bekerja keras menyediakan bahan
bacaan bermutu bagi mereka. Sebagian penerbit mungkin sudah mengurangi
keuntungan untuk menekan harga buku. Bagaimana dengan distributor? Atau lebih ke
hulu lagi, bagaimana dengan produsen kertas dan tinta? Dan yang lebih penting
lagi, bagaimana dengan pihak yang berwenang mengeluarkan kebijakan dalam dunia
pendidikan? Dan bagaimana dengan pembebasan pajak dari hulu ke hilir dalam
2.Ilustrasi
a.Daya tarik
Ilustrasi adalah aspek pertama yang dilihat anak (dan orangtua) ketika memilih
buku. Bagaimanapun gayanya, medianya, prosesnya, ilustrasi untuk buku anak
seharusnya pro anak. Merangsang kecerdasan dan memperkaya pengalaman visual
mereka. Membantu mereka memahami isi buku. Membangkitkan imajinasi dan
kreativitas mereka.
b.Pertimbangan normatif
Ilustrasi seharusnya tidak mempertontonkan hal-hal yang lazimnya tidak didukung
orangtua, misalnya, merokok, berpakaian seksi, adegan ciuman, kekerasan,
penggambaran tokoh mengerikan secara berlebihan.
Ilustrasi juga perlu disesuaikan dengan target pembaca dalam tingkat
kompleksitasnya.
c.Bercerita
Ilustrasi ada untuk ikut bercerita, bukan sekadar pelengkap atau penerjemah
teks. Saya menyebut ilustrasi yang menerjemahkan kata-kata saja sebagai pembeo.
Jika teks menyatakan: "Ali sedang makan ditemani kucingnya," maka ilustrasi
diharapkan tidak hanya menggambarkan anak lelaki sedang makan, dan di sebelahnya
ada seekor kucing sedang duduk pasif. Ilustrator bekerja sama dengan penulis
membuat pengayaan visual yang tidak tersampaikan oleh teks. Misalnya, kapan Ali
makan bisa digambarkan dengan bulan purnama di jendela, yang artinya malam hari.
Ibu bisa digambarkan sedang menghangatkan sayur di latar belakang. Si kucing
sedang memainkan ekornya, atau mengamati barisan semut di meja, atau menunggu
Ali melemparkan makanan di kolong meja. Banyak hal menarik bisa diperoleh anak
dari ilustrasi yang bercerita.
Ketika ilustrasi sudah bercerita, sebaliknya, banyak teks yang tidak perlu bisa
dihapus, sehingga penyampaian tidak ganda dan membosankan. Dan penulis
mendapatkan ruang tambahan untuk mengungkapkan hal lain yang memperkuat
karakterisasi.
3.Isi
a.Tema
Tema disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan target pembaca. Kalaupun tema
dewasa, seperti perceraian, perang, digunakan dalam buku anak, penyampaiannya
harus memerhatikan sudut pandang anak dan tingkat kematangan mereka. Buku
berfungsi membantu anak memahami dunia di sekelilingnya.
b.Penyampaian
-Penyampaian yang menggurui dan menganggap anak-anak bodoh/tidak tahu apa-apa
biasanya membuat anak bosan dan kesal.
-Kalimat hambur kata lebih sulit dipahami ketimbang kalimat efektif (berlaku
untuk semua usia).
Misalnya:
Andi adalah salah satu anggota kelompok yang memegang balon berwarna biru.(tidak
efektif)
Andi anggota kelompok pemegang balon biru.(efektif)
-Ada saja penulis yang "gatal" ingin menuliskan pesan moralnya secara eksplisit
karena khawatir anak tidak mengerti. Tetapi percayalah, kesimpulan dan pesan
moral yang dibuatkan penulis membuat jengkel orangtua yang membacakan, juga
tidak merangsang daya pikir anak.
c.Pertimbangan normatif
-Kenakalan dan keusilan tokoh sering diperlukan untuk menimbulkan konflik atau
kelucuan cerita. Tetapi ketika kenakalan dan keusilan dibiarkan tanpa
konsekuensi tersirat maupun tersurat, dan pelakunya bahkan dijadikan pahlawan,
pesan yang diterima anak menjadi negatif. Sebagai contoh, tokoh utama dalam seri
Captain Underpant mencuri video bukti kenakalannya dari kantor kepala sekolah,
dan dia lolos begitu saja. Mencuri tetap mencuri, tidak seharusnya dijadikan
solusi. Demikian juga berbohong dan merahasiakan sesuatu dari orangtua. Anak
biasanya senang bercerita kepada orangtua tentang pengalamannya, tapi ketika ada
teladan/suruhan, "Ssst, jangan bilang-bilang Mama kamu," tanpa alasan logis, dan
si tokoh menurut saja "berbohong" kepada orangtuanya demi rahasia itu, pesan
apakah yang akan mereka terima dari cerita ini? Anak saya (5th) pernah
mengomentari kalimat seperti itu, "Kenapa tidak boleh bilang Mama? Bilang juga
nggak papa kan?"
-Menjadikan orangtua sebagai sosok dewa yang boleh berbuat apa saja dengan
alasan mendidik anak (termasuk berbohong dan memberikan hukuman
sewenang-wenang), kecuali jika dalam cerita akhirnya orangtua seperti ini sadar
dan meminta maaf.
-Mengandung prasangka, SARA, stereotipe.
-Cerita tidak menarik, klise, mudah ditebak, tidak jelas.
-Cerita mendukung hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma universal
lainnya.
4.Bahasa
a.Kosa kata
Kadang bahasa sederhana diidentikkan dengan sedikit kosa kata. Sedikit kosa kata
sebetulnya tidak masalah. Tetapi kalau sedikit berarti miskin, menggunakan kosa
kata itu-itu saja, maka buku tidak mendukung perkembangan bahasa anak. Anak yang
terbiasa mendapatkan bacaan yang kurang mengembangkan kosa katanya akan tumbuh
menjadi orang yang "gentar" berbicara, minder menghadapi lawan bicara yang
seolah "menelan kamus". Dan bacaan yang kurang menantang juga bisa meredupkan
kegairahan membaca.
b.Bahasa buku
Bahasa buku sebetulnya identik dengan bahasa baku. Bahasa baku mengajarkan
logika bahasa dan mengasah rasa kebahasaan pembaca.Tetapi sejalan waktu,
muncullah bahasa gaul, dan mendadak bahasa baku disamakan dengan bahasa kaku.
Padahal bahasa baku seharusnya tidak kaku. Yang kaku dan tidak enak dibaca
adalah bahasa yang tidak efektif, berbelit-belit, bahkan salah diksi. Sayangnya
salah kaprah ini tidak disadari, dan banyak buku menggunakan bahasa gaul bahkan
untuk narasi. Bahasa gaul seharusnya hanya boleh ada dalam dialog (kutipan).
Maraknya penggunaan bahasa gaul yang tidak pada tempatnya membuat anak-anak dan
remaja kita tak bisa lagi berbahasa dengan baik dalam situasi formal.
c.Pertimbangan normatif
-Mengandung makian, kata-kata kasar atau tidak pantas.
d.Logika bahasa
-Kalimat yang tidak mengikuti kaidah kebahasaan atau logika, bisa menimbulkan
kerancuan makna. Bahkan anak-anak kecil bisa merasakan kalimat yang aneh
bunyinya, atau sulit dipahami karena tidak lengkap.
Contoh:
Sebenarnya Tito takut, tapi Tito kan anak pemberani, tidak takut apa pun.
Anak saya bingung menemukan kalimat itu. "Mana yang benar?" tanyanya. Tito takut
atau tidak takut apa pun?
Mungkin kalau diedit sedikit, kalimatnya akan lebih mudah dipahami. Misalnya:
Tito merasa takut, tapi dia memberanikan diri.
Penutup
Sementara ini, bagi orangtua, kriteria terpenting dalam membantu memilihkan buku
anak adalah ilustrasi dan isi. Keadaan fisik mungkin bisa diabaikan, apa boleh
buat, ilustrasinya keren sih, dan isinya oke. Kriteria terakhir, soal bahasa,
mungkin juga dibaikan, karena orangtua kadang tidak punya pilihan lain, atau
bisa menyunting dan menyensor sendiri ketika membacakannya kepada anak. Dalam
kasus ekstrem, orangtua menyimpan saja dulu buku yang kepalang sudah dibeli
tetapi ternyata "tidak layak" untuk anak.
Akan tetapi, apakah kita (penulis, ilustrator, editor, penerbit) bisa berpuas
diri pada keadaan ini? Apakah tidak sebaiknya semua kriteria di atas dipenuhi,
dan benar-benar kita menyuguhkan bacaan yang baik?
Khusus untuk buku anak, tampaknya penulis, ilustrator, editor, penerbit, harus
bekerja sama dengan lebih efektif dan tidak terburu-buru demi menghasilkan buku
anak bermutu, aman bagi anak-anak yang menjadi target pembaca. Orangtua akan
rela melepaskan anak memilih buku sendiri ketika situasinya memang aman. Sama
saja pada situasi jalan yang aman, anak akan dilepaskan menyeberang sendiri,
demi kemandirian mereka, demi tercapainya tujuan mereka.
Salam kreatif,
Ary
moderator PBA
Posting Komentar untuk "Bagaimana Buku-Anak yang Baik menurut Orangtua?"
Terima kasih telah meninggalkan jejak. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menghindari spam. Mohon juga follow blog, Google +, twitter: @Naqiyyah_Syam dan IG saya : @naqiyyahsyam. Semoga silaturahmi kita semakin terjalin indah ^__^