Judul :
Surat Dahlan
Penulis
: Khrisna Pabichara
Penyunting
: Suhindrati Shinta dan Rina Wulandari
Penerbit
: Noura Books (PT Mizan Publika)
Tahun
Terbit : 2013
ISBN :
978-602-7816-25-1
Harapan adalah kekuatan terbesar untuk hidup.
Walau badan menderita penyakit fisik yang cukup parah, harapan sehat, sembuh
dan tatapan kasih orang-orang yang mencintai kita, itulah nyala semangat. Seperti
itulah yang ditularkan Dahlan Iskan. Prolog di novel ini mengisahkan saat Dahlan
harus dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit liver. Dahlan harus
mengalami operasi pencakokan liver dari pendonor liver yang tidak dikenalnya. Saat divonis untuk tidak bergerak 24 jam,
Dahlan menyambutnya dengan senyum. Tak mengeluh, tak juga menyerah.
Novel ini terdiri dari 31 Bab dengan
376 halaman. Ditulis oleh Khrisna
Pabichara, pemuda kelahiran Makassar, 10 November 1975. Penulis yang dikenal
dengan sapaan Daeng Marewa ini
sebelumnya telah menulis 16 buku baik fiksi maupun puisi. Penghargaan nasional
juga telah diraihnya, seperti 10 besar Katulistiwa Literary Award (KLA) 2012. Novel Surat Dahlan ini adalah sekuel
dari novel pertamanya, Sepatu Dahlan (Naura Books, 2012).
Secara
keseluruhan, inti dari kisah novel ini menurut saya terbagi dalam 3 bagian. Bagian pertama berkisah tentang Dahlan muda
dengan kerinduan terhadap kampung halamannya. Saat harus merantau dari Kebon
Dalem nun pelosok Pulau Jawa menuju Samarinda untuk menuntut ilmu.
“Bagi
setiap perantau sepertiku, rindu adalah hatu yang paling menakutkan” (hal :
17).
Dahlan muda sempat terombang-ambing dengan kisah
cinta masa remajanya. Surat-surat cinta kerap datang dari gadis bernama Aisha.
Namun, Dahlan tak pandai menjadi lelaki romantis, tapi bukan juga penggombal
cinta. Disimpannya asa untuk memperistri gadis pujaannya itu tanpa membalas
surat Aisha. Dahlan muda sibuk dengan kuliah di dua kampus dan jatuh cinta pada
organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di PII Dahlan muda menemukan jiwa
nasionalismenya. Jiwa mudanya bergelora. Bersama temannya, Dahlan menyusun
demonstrasi menentang kebijakan
pemerintah. Tugu Nasional menjadi saksi perjuangannya, hingga Dahlan dianggap
sebagai pemberontak dan menjadi buronan pemerintah.
Dahlan muda, tidaklah kaya, tidak juga
memiliki kecerdasan rata-rata. Entah mengapa, Maryati anak jurangan Akbar begitu
menaruh harap padanya. Lalu, ada Nafisah rekan sejawatnya di PII yang tomboi,
tapi merdu suaranya saat membaca Al-Quran juga diam-diam menaruh simpati
padanya. Dahlan terjebak pada cinta segitiga. Siapakah yang akan dipilih
Dahlan? Cinta masa remajanya Aisha, Maryati yang terus mengikutinya sampai ke
Samarinda atau Nafisah anak seorang tentara yang sangat diseganinya?
Benar kata pepatah, dibalik kesuksesan pria,
ada wanita di belakangnya. Dahlan muda didukung penuh oleh Mbak Atun kakak
kandungnya. Ada Nenek Saripa sang penolongnya kala sekarat di tengah hutan
selain ketiga wanita yang menaruh harap padanya.
“Kita memang dilahirkan bersama rasa takut, Tapi
kita tak boleh gentar menjadi apa pun.” Nasehat Nenek Saripa (Hal : 218).
Lalu, ada istri yang setia yang penuh
kesabaran. Mengasuh anaknya sendiri dikala Dahlan memilih konsetrasi penuh pada
pekerjaannya. Namun, novel ini tidak banyak mengangkat siapa dan bagaimana ibu
Dahlan, karena ibunya telah meninggal. Novel ini lebih menceritakan semangat
bapaknya Dahlan, Iskan.
Inti kedua pada
novel ini tentang dongeng yang dikisahkan apik oleh bapaknya kepada Dahlan. Potongan-potongan
dongeng yang bijak menjadi pemacu Dahlan muda untuk terus maju.
“Aku mengusap wajah. Menyesal diri. Tiba-tiba
lesap ke dalam kalbu pesan Bapak seusai bercerita tentang konyol kera yang
kehilangan kacang itu. Kata beliau, “Kadang kita luput mensyukuri anugerah yang
kita terima. Mungkin karena rahmat itu kita anggap kecil atau memang sesuatu
yang lumrah, lantas kita lalai menjaganya.” (Hal : 263).
Dongeng yang diceritakan Bapak Iskan menjadi benang merah dalam tiap kisah antara kehidupan Dahlan muda
di Samarinda dengan kisah di kampung halamannya. Dongeng-dongeng itulah yang
melekat pada diri Dahlan untuk melangkah. Menjadikan Dahlan sebagai lelaki yang
kuat.
Inti ketiga yang menarik dalam novel ini adalah sebuah idealisme seorang
Dahlan muda. Sejak kuliah, Dahlan muda berani, Ia pernah menentang dosennya
yang tidak memperbolehkannya ikut kuliah karena Dahlan memakai baju kaus.
Dahlan muda protes dengan menulis di selembar kertas :
“TOLONG KULIAHI KAMI, PARA KEMEJA!” (hal : 71).
Kehidupan Dahlan mulai berubah sejak bertemu dengan Sayid yang
menawarinya menjadi seorang wartawan. Dahlan
akhirnya berkarir di dunia jurnalistik dari nol. Dahlan muda pembelajar sejati,
walau berita pertamanya tidak layak di muat, Dahlan tak patah arang. Di sini
kisah perjuangan makin indah ketika mengetahui dibalik alasan mengapaDahlan menuliskan namanya
menjadi Dahlan Iskan dan bukan nama aslinya. Dengan modal minat dan kesungguhannya,
karir Dahlan beranjak cepat. Dari wartawan biasa di Mimbar Rakyat, lalu menjadi
wartawan lepas di Tempo, hingga menjadi Ketua Satuan Tugas Pelaksana di Jawa
Pos.
Tak kaget melihat Dahlan dengan
lancar menuliskan berita. Selain minat dan kesungguhan, Dahlan muda rajin menulis
di buku harian.
“Hari pertama setelah menikah, aku
serahkan tiga buah buku harian : buku yang mengawetkan banyak kenangan, yang
menyembunyikan banyak rahasia, yang melipatkan rapi masa lalu ( hal:287)
Novel ini juga mengisahkan kisah
Dahlan yang tak luput dari kelemahan sebagai pria, suami dan seorang bapak. Adegan
haru saat anaknya, Rully yang masih berusia lima tahun berteriak lantang :
“Ayah lebih sayang kolan dali Ully!”
(hal : 328).
“Pekerjaan memang bisa membuat
seorang ayah, tanpa sengaja, lupa kepada anak-anaknya.” (Hal : 332).
Novel ini sangat rapi dari soal
pengeditan dan tata letak. Ditunjang dengan kualitas kertas, hingga tak bosan
membacanya. Menurut saya, novel ini akan semakin indah jika dideskripikan lebih
totalitas mengenai Samarinda. Lokalitas dalam novel ini masih sekilas dan belum
mendalam, misal nama jalan, rumah, keadaan alam, belum menyatu secara sempurna.
Entah karena Dahlan berasal dari Jawa, sehingga penulis tidak terlalu
mengeksplor Samarinda atau lebih memilih menonjolkan kisah keberhasilan Dahlan
mengelola Jawa Pos. Terlepas dari itu semua, novel ini sangat inspiratif. Dapat
dinikmati oleh remaja yang memiliki mimpi untuk menjadi orang sukses.
Wah, novel baru ya. Belum punya yang ini. Soaok dahlan jadi inspirasi ya.
BalasHapusSosok dahlan, maksudnya
Hapusiya mbak sekuel dari Sepatu Dahlan, bagus kok isinya, mengalir penuh dengan kata inspiratif. Makasih Mbak sudah mampir:)
HapusNice review, Mbak. Aku belum baca yang ini. Kalau dibandingkan dengan buku sebelumnya, Sepatu Dahlan, bagaimana?
BalasHapusNah, buku Sepatu Dahlan malah belum punya Mbak Haya, emang kayaknya lebih ciamik kalo dibandingkan ya:)
Hapushehe, kalo anak sampai protes karena ayahnya lebih sayang koran, wahh :D kecintaan banget sama koran ya, sampe lupa waktu :D
BalasHapusKarena ayahnya kerja di koran mbak :D
Hapusayahnya yang menjadi pimpinan, jadi mau enggak mau menjadi komandan ^__^ ya begitulah, harus memilih walau dalam keadaan genting ya:)
HapusAku jd pingin baca bukunya nih..
BalasHapusSukses yaa Mbak, lombanya..
makasih mbak Linda, semoga doanya dikabulkan Allah.
HapusJadi pengen beli.aku punya hmpir semua buku yg ada dahlan iskannya.suka lihat beliau
BalasHapuswah, ikutan ada lomba lagi loh, Windi.
Hapus