MUSIM KESUNYIAN

http://lmcr.rayakultura.net/blog/musim-kesunyian/

Pemenang Juara 1 LMCR



Oleh Ai El Afif

Hujan-

Wanita itu menamai dirinya penantian. Telah direngkuhnya tilas waktu yang membekukan kenangan. Ia lelah menamai segala benda-benda. Berupa-rupa wewangian: harum melati, lembut angin, embun di pucuk bunga-bunga, membawanya pada pelayaran kisah. Ia luruh untuk kali pertama.

Telah dicecapnya kerinduan tak berkesudah. Lelaki penenung. Hembus suaranya membuat wanita itu terombang-ambing. Dadanya sarat getar. Semalam-malam, di mana ia mengurung diri, didapati dunia terlampau luas kini.

Wanita itu menyibak tirai. Menatap hujan di luar sana. Tetes air menjelma beling. Berkilap. Gemertap. Serupa kidung agung di puncak keabadian.

Ia terhanyut meresapi keberadaan. Melupakan geliat asing di luar sana. Ia tak tahu, kapan orang-orang menjumpai naungan seperti halnya kepergian.

Punggung-pungung sunyi itu berpasang. Berlalu. Menggenggam pilu seiring tapak kaki. Bulan mengarak bintang. Bertudung lindap, menyisakan gerak cambuk petir. Wanita itu menghempas rasa yang meriak.

Tanah basah. Matanya basah.

*

Tilas Kenangan-

Sulit membayangkan wanita itu sekarang. Tersibak resah di waktu tengah rebah. Telah lama ia berdiri di sana. Menyingkap tirai, berdiam berpeluk dingin. Matanya menatap sesuatu. Entah menghitung apa yang tak kasat.

Kuakui, sepasang matanya menghempasku dalam liku yang panjang.

Langit rebah. Mewarna tanah. Jatuh malam. Kemilau tersiram hujan. Kemilau melompat di jendela. Rindu. Rindu mendera-dera.Air menyiram atap rumah. Basah. Basah menggumamkan doa-doa. Padanya di seberang. Padanya memetik kewarasan. Mengapung dan tersaruk di bibir jendela. Bulan resah, meredupkan diri. Lesat petir memantik. Terang sesaat, gelap kemudian.

Orang-orang itu mengasingkan diri. Mengepak barang seadanya dan berlalu. Berpergian seiring kepedihan. Di tiap jengkal tanah, kutemukan remah-remah luka. Gema melebur di kejauhan. Menyisakan dengung tangan menggaruk pilu.

Memerah badan mereka. Pada leher, badan, lengan dan kaki. Sepanjang malam, keluh-kesah dari rumah ke rumah beterbangan. Berhambur serupa debu tertiup hampa.

Tak lagi kudapati keluhan itu kini.

Bagaimana kita menamai keadaan?

Kali pertama aku menemukan satu. Sebab kehidupan melahirkannya entah dari mana. Kuinjak. Mati. Kali lain kutemukan dua. Lalu tiga yang meresahkan. Seketika pepohonan, buah-buah, bunga-bunga, segala benda, telah mereka tempeli penuh-penuh.

Ulat-ulat berpesta pora. Menggeliat. Berbulu. Menyebarkan gatal merata. Tubuh mereka melekuk-lekuk. Terkembang jijik dari sesiapa yang menatap. Mungkin ulat-ulat itu mencari hangat waktu. Seperti bayi merayu dalam dekap ibu.

Angin telimpuh. Menyadap alam berkabung. Langit muram bagai kerudung wanita di pemakaman. Kematian rasa melahirkan luka menganga. Bersama daun yang jatuh berputar, saat itu kutemukan cacat di tiap lembar. Ulat menyantapnya. Menyisakan lubang, mengusir kumbang. Sepi mendera. Korak sayap serangga berganti rintih sekarat.

Oh, apalah tempat ini… Tanah mengerang mati. Bebunga menafsir maut. Melarutkan rupa dalam gersang yang asing.

Wanita itu, mengapa ia tak pergi seperti yang lain?

*

Kidung Semusim-

Biarkan aku mendamba. Dahaga membawaku berlari. Tak mampu kuraup keindahan kata, sebab kutemukan wadah hatiku pecah…

Suara itu, seumpama laut yang menggoda. Tapi asin terlahir dari mataku yang basah. Duh, angin cemburu. Mungkin deru terkalahkan degup dada bertalu-bertalu. Apa yang kutahu tentang waktu dan cinta? Aku dewasa sebelum waktunya. Dan diammu menyiksa.

Di sini, aku tertusuk sepi. Terhempas dalam gelungan nestapa. Tiap permulaan membawa pada kesakitan. Lekuk tinta itu awal mula penyesat.

Bagimu, akulah keindahan. Katamu, rambutku puisi. Mataku puisi. Jemariku puisi. Tubuhku puisi. Maka tulislah… Apa yang ada ditiap jengkal wanita adalah puisi.

Semalam-malam, terpintal gelap tak berujung lelap. Kau membekap dalam bius yang suram. Mungkin saja gila, atau ini kali pertama kewarasan tertelan. Kau dua puluh lima. Aku sembilan belas. Enam angka membentang jarak.

Getar luruh ke tangan. Tanyalah, apa hatiku utuh? Karena hatimu batu, terima kasih melambungkan angan menempuh batas entah. Wajahmu sejernih gelas. Meski sikapmu serupa bayang-bayang. Hatiku berdarah. Mataku basah.

Aku membuka lipatan kertas itu. Kerumitan tercipta di sana. Keadaan bagimu, sama rumitnya. Ulat-ulat membanyak. Menyerbu alam tak sungkan. Ia mencipta lubang pada daun. Membuat goresan pada badan. Bersenandung pada apa saja yang terlihat.

“Wanita potongan puisi. Lelaki gerak tinta mengurai gelora.” Kau menghembus jenuh. Kurebut kertas itu. Alam disegarkan oleh hijau daun meski kudapati wajahmu layu.

Sewaktu itu kerap rasa tak berpamit. Gelisah mendingin. Terbang meninggalkan badan. Ada hangat dari tilas yang beku. Tersapu kabut dari gerak bibir menghela sunyi. Semestinya kau beroleh restu pada cahaya—yang tersungkur saat air mata kering dan fajar merekah.

Kuakui, untuk kali sekian pahit berkelindan. Lagi. Kuresapi lekuk tulisan itu. Memikat. Mengingatkan delisik dahan di luar sana. Aku merasa berkabung seketika itu. Meski bibir mencipta senyum, namun dada mengungkap kepedihan.

Duh, lelaki… Adakah kau tahu tentang hati yang resah?

*

Jingga Jendela -

Selalu ia menunggu pagi begini. Pada langit, didapati fajar pecah berkecai-kecai. Lelaki itu menatap jingga dari jendela. Warna yang mengusir gelap. Dirasakan semuanya sembari menutup mata. Damai. Ada hangat yang membagi pada tanah.

Di seberang, ditemui sepasang mata sayu dari perawan sendu. Telah lama ia berdiri. Menunggui pagi begini. Bersamanya. Di tanah yang sama. Di bangunan berbeda. Mereka mendengar lagu pucat alam sekarat. Bergema. Memantul pada batu-batu. Memantul pada tanah. Lelaki itu percaya, wanita adalah keindahan. Dan wanita itu percaya, ulat-ulat memberi kecantikan tak terbilang.

Lelaki di jendela meriap resah. Sebab pagi begini, wanita di jendela menyapa ulat-ulat. Ia tak pernah mampu menebak isi kepalanya. Seperti ia tak mampu mengurai degup dadanya.

Malam membuat keduanya selalu terjaga. Nyanyi angin tak memberi lelap. Keduanya terlupa mimpi. Terlupa warna bunga-bunga di pembaringan. Mungkin kilatan petir mencabik kelopak bunga-bunga tidur. Tak pernah keduanya didera rindu. Rindu untuk membau bebunga yang dimekarkan waktu. Hanya mata menatap ulat-ulat. Terpekur, menembusi sunyi mencipta sealir linang. Keduanya mencecap asin yang menggantungi bibir. Hijau tak lagi ditemuinya kini. Dan lelaki itu selalu bertanya, bagaimana kita menamai keadaan?

*

Wanita itu berdoa agar alam melewati masa sekarat. Pada tanah yang diserbuki jingga, kenangan bernaung entah di mana. Dahulu, langkah-langkah kaki riuh menyoraki pagi. Dan serangga menghisap sari untuk disantap sendiri. Ia merindukan masa silam.

Pagi menyapa bersama lelaki di jendela berbeda. Enggan ia pergi sebab kenangan ibu. Ia ingin menjaga hangat ibu di kepala. Di rumah. Di tiap jengkal dinding yang urung bercerita.

Baginya, alam sekarat sebelum hari baru terlahir kelak. Ia menunggu alam berganti rupa. Ulat-ulat itu hanya penanda. Ia percaya, keberhasilan tertelan usai melewati masa bosan penantian.

Lewat jendela, wanita itu menghantarsenyum untuk ibu di surga.

*

Kemilau Mata-

Pintu rumahnya terkuak. Wanita itu keluar bersama gamang. Desah terlahir di bibirnya. Rambutnya tergerai, meleha dihembus angin pagi. Aku menelusuri tiap gerak wanita itu. Terkadang aku tak mengerti isi kepalanya. Wajahnya mengilap diterpa sinar. Menampakkan sisa letih yang menggantungi ia semalam-malam.

Tersenyum ia padaku. Sebelumnya, dari jendela ia juga tersenyum. Keindahan ini yang membuatku bertahan… Aku mengumpulkan kesadaran. Tapi degup dada merajam. Menikam-nikam. Dikarenakan keindahan, tiada habis aku memuja. Pesona senyum itu membuat pening. Melintas-lintas tentangnya, melahirkan keringat dan getar. Aku ingin raib.

Wanita itu berlutut, seperti hendak memungut remah-remah hujan semalam. Kembali ia melakukan keganjilan. Mungkin menyapa ulat-ulat. Menanyai ke mana ibu mereka pergi. Ia tengadah. Sasar matanya di lekuk-lekuk awan biru. Matanya berkabut.

Awalnya ia cemas sepertiku. Mengira alam murka. Dan awan memuntahkan ulat bukan hujan. Tapi tidak lagi kini. Ia bertambah senang mendapati ulat-ulat membanyak. Lakunya menggenapkan segala keganjilan. Betapa…

Aku beranjak. Menutup tirai. Adakah hampa begini meraja? Di ruang ini, ilham berteman tinta, dan kalimat yang kusamak menjelma puisi. Sepi kuingini. Kepergian orang-orang memberi kesempatan. Tak pernah tuntas segala tulisan sejak puisi itu kau rebut. Sesat pikiran mengembara. Usai kesadaran berpulang, tak ada yang dibawanya selain kosong sempurna.

Aku berusaha tak tumbang. Kaki ini membawa badan menemuimu. Tapi hati, bagaimana degup melenyapkan kata-kata? Aku meraba-raba mencari pegangan. Kuakui, tak ada yang menyiksa selain tenggelam di kedalaman mata itu.

Kalimat pertama tersulam di lidah. Kuperam-peram siap kulontarkan. Sewaktu itu pula kau berbalik badan. Enyahlah semua. Kebisuan meringkus. Hangat mentari bagai pecahan cermin menghujam badan. Matamu basah.

Wanita belia, mengapa kau berteman tanya?

Seketika aku kaku.

*

Tembang Wanita-

Akhir-akhir ini alam tak tertebak. Sama seperti lelaki itu. Berubah-ubah. Apa yang diingini rinai hujan semalam. Tak pernah ada jawaban. Hatiku melengking-lengking karena pagi membawa lara.

Baru saja dua senyum dimulai hari ini. Senyum untuk ibu, senyum untuk lelaki itu. Sementara airmata, berurai untuk ulat-ulat.

Di tanah lembab, tubuh-tubuh kecil itu terserak. Awan melahirkan mereka. Namun hujan menguyupkan, merayu tanah menjelma kubur. Angin dan hujan jatuh cinta. Dan sebab itu aku berduka. Kematian ulat-ulat seperti mimpi buruk. Aku tengadah, menatap lekuk-lekuk awan.

Puaskah hujan memutus napas ulat-ulat?

Hatiku diremas-remas pedih. Kualihkan mata, menyadap sepi bergenta ditiap rumah tak berpenghuni. Terlampau jijik orang-orang itu akan ulat.

Tanah yang akrab sejak kanak… Tapak-tapak kaki pernah kutoreh di atasmu. Gugur bunga-bunga pernah memandikanmu. Mengapa kau menghapus semua? Seolah tubuhmu makam yang menimbun kenangan. Tak setia kau pada batang pohon yang cacat. Meski tak dirimbuni daun, tetap ia tegap melindungi.

Aku menggigit bibir. Membalikkan badan. Saat ingin meneriakkan luka, lelaki itu muncul di belakangku tiba-tiba. Tanah memaku kaki. Tubuhku membatu. Hanya mata meretaskan hangat menyambut kehadirannya.

*

“Jangan bilang kau ingin berpamit.” Aku memecah bisu di tengah luka menganga. Lelaki itu mendesah. Mataku masih menyisakan kaca.

“Aku memerlukan naungan dan ilham. Sepi menjernihkan kepala.”

“Malam melukis lingkar hitam di pelupuk matamu.”

“Gelap tak memberi lelap.” Lelaki itu membuat teguk. “Airmata mengubahmu. Seperti tanah ini.”

“Duka mendewasakanku.”

“Apa yang kau harap dari alam sekarat?”

“Ibuku memang telah pergi. Tapi kenangan tetap menghidupkannya. Aku tak ingin meninggalkan kenangan itu, membuat ia berkarib sunyi.”

“Dan ulat-ulat?”

“Aku percaya ulat-ulat bentuk lain dari kecantikan.”

“Orang-orang menamai ulat-ulat itu kutukan. Bertambah hari, ulat-ulat itu membanyak. Kemarin jemu menapaki puncak. Mereka tak tahan lagi.”

“Aku membenci tanah yang dibisiki hujan.”

“Ulat-ulat tak memberi apa-apa.”

“Sebab lain aku tak pergi karena ulat-ulat ini. Hujan menyisakan maut. Kau tak mengerti resah.”

“Tetaplah menjadi anak-anak. Kau takkan bisa dewasa.”

Lelaki ini memuakkan.

Aku menumpah kesal dengan memungut ulat-ulat. Satu demi satu kutampung di telapak tangan kiri. Lelaki itu menghentikan. Sia-sia. Aku ingin menyimpan makhluk-makhluk awan di rumah. Tak pernah ia mengerti arti kehilangan.

Duh, hatiku ibu. Ternyata usia menghantar demam. Aku merindu masa lalu namun kerak menyiangi seperti gulma.

Tanganku memerah. Perih. Aku berlalu. Menepis panggilan berselimut penyesalan. Lelaki itu terlupa, sesal bertakdir diurutan akhir. Dan jawaban, ia dapati dari pintu yang kuhempaskan keras-keras.

*

Uap-

Apa yang dibawa kata-kata? Tusukan. Wanita itu mengisak dan memakamkan kematian rasa. Gemuruh dada membuat ia terombang-ambing. Waktu tak pernah membuatnya mengerti.

Wanita itu mengoyak sepi dengan tangis. Dihempaskan semua. Matanya mengembara pada jendela. Bertanya-tanya. Cinta hanya memekarkan bunga-bunga air mata. Ia merasakan tubuhnya mengecil, lalu menguap bersama debu yang abu…

Hoi, lelaki yang meninju dinding. Adakah nurani pingsan di suatu tempat. Napasmu lintang-pukang bersama maaf yang menggumam. Kata-kata menjelma pedang di hati wanita itu. Bagaimana menafsir lubang luka?

Lelaki itu merapatkan tubuhnya di dinding. Ia bersimpuh. Memeluk lutut. Kamarnya menjadi penjara. Ia layu. Bersenyawa ruang.

Peka telah mati seperti ulat-ulat itu. Nanar matanya. Alam hanya melemparkannya pada jurang tak kasat. Ia menaikkan tangan hendak menghitung dosa. Tapi kekuatannya limbung, membuat hela napas itu terdengar putus-putus.

Lelaki itu menjarah ingatannya. Mengenang saat usia sembilan belas. Ia bermohon pada Tuhan agar dikembalikan saja di usia itu. Mungkin, di usia yang sama, ia bisa mengerti dunia wanita itu. Ia menggigit bibir, hendak membagi rasa sakit.

Pernah, di kala gulita menggelapkan pikiran, lelaki itu mengimpi membelai wanita itu. Tapi sesal membelainya lebih dulu dengan duka. Ia meratapi mimpi-mimpi yang mengapung di kertas-kertas puisinya yang tak pernah jadi. Tubuhnya dingin. Ia merasa telah mati hari ini.

*

- Hikayat Ruang-

Di luar, hujan mulai turun. Desis air membuatku terjaga. Dingin. Aku menyalakan lampu. Lelah membawa lelap usai mengisi hari dengan isak. Air memulai lagi merayu angin. Percintaan yang menjadikan tanah memacak luka.

Aku beranjak, hendak menutup tirai. Di seberang, lelaki itu membingkai jendela dengan sosoknya. Hari ini kata-katamu menikam. Mungkin esok kata-katamu menjadi racun. Dan lusa? Entah kata-kata menjadi apa. Aku menatapnya sejenak. Cahaya kamarnya menjelaskan wajahnya. Lelaki itu serupa tanah yang menyimpan limpahan hujan. Lembab.

“Kau tak bisa jatuh cinta.” Aku mengatup tirai. Bersamaan dengan gerak itu, kudapati kesadaran menyentak. Kulitku terlampau merah. Gatal. Makhluk-makhluk awan itu tak bisa membuatku begini.

Aku menjatuhkan pandangan pada lantai ruang tidurku. Ulat-ulat itu kaku ditinggal kehidupan. Mungkin ulat-ulat itu menyalahkanku. Aku mencintai ulat-ulat. Dan siksa lebih pantas untukku.

Terlampau banyak sakit di sini. Tak pernah ketulusan kalah dengan keadaan. Kurasakan gatal itu kini berlipat-lipat. Aku mengatup mata. Takkan melawan lagi. Kenangan kulentingkan menyibak sepi. Membawaku mengembara menembusi gelap yang menganga.

*

-Pemintal Air Mata-

Aku termangu, mengingat kebiasaan. Di waktu menyatu tanah, kerap kita melewati kantuk di jendela. Sedih terpintal di mataku. Serupa pepohonan yang menggigil di luar sana. Kini, aku sendiri mempelajari beling hujan.

Nyaris jenuh mengisi penuh-penuh tubuhku. Tapi semua meruap saat kau kembali ke jendela itu. Wajahmu yang pias meyakinkan: kita akan mengurai sepi semalam-malam. Harapan memantik percik pertama, namun padam sebab kau menutup tirai. Kau menghempasku bersama dosa yang tak pernah mampu kuhitung.

Di jendela, kekosongan mendera-dera. Keriut melesat dari goyangan reranting. Aku mendengarkan tarian hujan. Lama. Tapi siapakah yang meneriaki malam? Aku terkesiap sebab kutahu, itu suaramu. Seketika resah meraja. Menabuh ketakukan secepat degup dadaku.

Aku berlari ke luar. Menerabas hujan usai mendapati siluet ganjil dari jendelamu.

*

-Pelayaran Surga -

Suara lelaki itu bersenyawa hujan. Ia menguak sakit di matanya karena serak memanggil-manggil. Tak ada jawaban. Nyaris ia merusak malam dengan batu. Tapi ia melihat harapan di jendela. Bayangan wanita itu mengubah gigil bibirnya.

Sosok itu menyibak tirai. Menguak jendela. Seperti gelap yang menyimpan rahasia, ia menampakkan separuh badannya.

“Apa aku cantik?”

Lelaki itu terlupa cara melontarkan suara.

“Aku ingin ke surga. Ibu menungguku.”

“Kau hampir tak kukenali.”

“Kita memang tak pernah saling mengenal.” Wanita itu tersenyum. Lalu memandang langit. “Aku tahu, kau tak butuh cinta. Napasmu hanya sepi dan ilham.”

“Katakan, bagaimana waktu mengubahmu?”

“Jangan tanya. Bukankah aku ini keindahan? Katamu, rambutku puisi. Mataku puisi. Tubuhku puisi. Tulislah, apa yang ada ditiap jengkal wanita adalah puisi.” Tubuh wanita itu membuat bayang-bayang pada tanah.

Angin menghembuskan dingin. Menyekap dalam kebisuan sempurna. Mata lelaki itu memincing, disinari kemilau warna-warna. Ia tak mengerti, apa yang disisakan alam pada keganjilan tanahnya kini.

Wanita itu meninggalkan jendela yang membekukan kenangan. Ia lelah menunggu fajar. Ia tak mau melihat malam menambah lingkar hitam di mata lelaki itu lagi. Wanita itu membuat reranting bergoyang sebab tubuhnya. Dan tanah, menjadi saksi akan keganjilan yang pecah bersama hujan.

*

Lelaki itu tak tahu bagaimana mengusir lelap di jendela. Takkan ada sepasang mata yang menjebaknya lagi.

Ia menyadap alam berkabung. Mendengar hujan mengurai puisi sedih untuknya.

Adakah hampa begini meraja? Bagaimana aku menamai keadaan?

Lelaki itu mendongak, menatapi wanitanya menjelma kupu-kupu. Perih mencabik. Matanya basah. Ia luruh seiring wanita itu menjelma titik kecil. Menghilang di ketinggian.

Ada sesuatu menyisakan sayat. Ada hampa memenjara.

Takkan lagi dirasakannya cinta. Meski menyusur gelap mencari entah. Sepi menampar. Menjelma luka. Bergema pada tanah. Melompat ke jendela dan reranting. Memilin. Berakhir getar yang terlahir di bibirnya.

Ia tahu, ini kali pertama ia mendapati waktu mati. Dan kehilangan, melebur bersama musim yang sunyi.*

Ai El Afif, Mahasiswa FKIP. Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur

Posting Komentar untuk "MUSIM KESUNYIAN"