"Mas," suaranya terdengar.
"Ada apa?"
"Aku pamit tidur di sebelah lagi, ya?" tanyanya.
"Tidak bisa tidur lagi?" tanyaku. Dinda hanya mengangguk lemah. Terpaksa kuizinkan. Kupandangi tubuhnya yang kian menjauh dan memasuki kamar di sebelah. Aku duduk termangu. Ah,aku rindu! Rindu ingin sekali mendekatinya. Dia istriku! Resmi secara agama dan hukum. Tapi, sudah dua bulan, aku belum bisa mengapai hatinya. Bahkan menyentuhnya sekali pun. Naluri lelakiku kadang memaksa. Yap, itu hakku kan sebagai suami? Entah kenapa melihat wajah piasnya, niat itu selalu kuurungkan.
Malam telah larut. Aku belum juga tidur lagi. Bagai film yang diputar ulang, terlihat di depanku pertemuanku dengan Dinda, istriku.
"Apakah kalian siap untuk berlayar di Universitas Rumah Tangga?" tanya Ustadz Romdhon dalam pertemuan ta'aruf itu.
Wajahku bersemu merah. Kulirik Dinda di seberang bersama Ustadazah Rahmi, istri Ustadz Romdhon.
"Insya Allah, siap Ustadz," Jawabku kalah itu. Usai pertemuan singkat, perjodohan yang antara guru mengaji kuharap barokah. Aku mulai melangkah gagah dalam mahligai rumah tangga. Hingga, malam pertama dan selanjutnya membuat aku terhempas. Dinda tak ingin kusentuh!
"Aku perlu waktu, Mas," jawabnya penuh isak saat itu. Dan aku, belum berani memaksanya.
Namun, malam ini aku bertekad! Aku harus dapat menyentuh hatinya! Kulangkahkan kakiku menuju kamar Dinda. Kulihat wajahnya yang cantik sudah terlelap. Aduhai, sungguh indah bidadariku. Sungguh, elok rupa dan halus kulitnya. Kuraih tangannya dan mulai mendekati tubuhnya yang wangi.
"Jangaaaaaan!" tiba-tiba Dinda berteriak histeris.Dia terbangun dengan pisau di gengaman tangan kanannya. Tubuhku terdorong ke belakang.
"Dinda! Ini aku! Aku suamimu!"
"Jangan mendekat!" teriaknya.
"Dinda, lepaskan itu, ini aku! Kita telah menikah!"
"Bukaaaaaan! Kau bajingan itu! Kau lelaki bejat itu! Kauuuu....." Dinda mengerakkan pisau itu ke arahku. Aku mulai ketakutan. Kurapal doa yang kuhapal, kulihat di belakang Dinda bayangan hitam yang sangat menakutkan. Hingga pisau itu kian mendekat ke arahku, dan...
"Cuuuuuuut!" dan tepuk tangan bergema.
"Bagus! Bagus sekali acting kalian! Saya harap bisa cepat naik ratingnya dan mengalahkan sinetron lainnya!" ucapan bahagia sang sutradara, Pak Tino. Aku bergegas mengganti kostum dan mulai menghapal dialog sesi berikutnya.
332 kata:)
*Tunggu sinetronnya ya!*
Wiiii, keren...keren, mbak, terkesima membacanya taunya udah cuuuut ajha
BalasHapushehe akhir yang mengejutkan.... ajari saya tuk menulis seindah ini... kenapa yah susah sekali rasanya kalau sudah mau nulis, padahala dikepala tuh timbul bnyak ide, di dpn keyboard jd g seindah harapan.. :(
BalasHapusayoo ditulism nanti tag aku semoga bisa saling membantu
HapusNeyna: Makasih ya udah mampir:) hehehe latihan Shooting tuh:)
BalasHapusAis: ayoo belajar menulis, mencoba en banyak baca, ini nulisnya juga cepat2 hehehe cuma setengah jam, ayooo semangat!
kejar tayang, hihihi
BalasHapusHihihihi, ibu pinter mempermainkan perasaan Pembaca. Mantap...saya suka.
BalasHapusItu namanya bakat menulis
HapusJadi ikut terbawa suasana
BalasHapusPandai membuat pembaca terbawa nih Umi
BalasHapusKeren. Apa tips supaya bisa menuls sebagus ini ?
BalasHapusBagi dong mi