“Kok tambah lemas sih?” tegur seorang Ibu. Pandangannya tertuju kepada anak saya yang sedang digendong. Pertama berjumpa saya jawab dengan senyuman dan penjelasan singkat, “Maklum sudah ngantuk, tapi masih pengen mainan,” ujarku singkat lalu berlalu dan mengajak anak saya mainan kuda-kudaan di halaman Play group.
Selang berapa hari bertemu lagi, kali ini anak saya juga ikut serta. Tegurannya tak berubah, “Kok tambah lemas sih?” tentu saja teguran itu tertuju untuk anak saya. Memang beberapa hari ini ia sakit. Sariawan, sehingga sulit makan. Hanya itu jawaban saya. Karena saya sudah malas berkomentar banyak. Dalam hati saya membatin, “Duh apa nggak ada kata sapaan yang lebih empati, ya?” emang sih anak saya tubuhnya kecil. Tak sedap didengar tapi kenyataan, kata orang medis ‘kurang gizi’. Padahal lahirnya cukup normal, Berat Badan (BB) 2,8 Kg. Tapi, tak bisa disangkal kenyataannya tubuhnya kurus.
Sejak lahir ia sering sakit-sakitan, 1,5 bulan ia harus diterapi akibat benjolan di sebelah kiri lehernya akibat trauma pada otot leher karena persalinan sungsang bokong murni. Menjelang usia 8 bulan, ia kena diare, akhirnya terpaksa di opname setelah 4 hari mengalami diare dan menghalami dehidrasi. Usia 11 bulan ia batuk (bronhitis) dan harus di opname di RS. Setelah di cek up, anak saya dinyatakan menggidap TBC. Sejak itu, selama 6 bulan makan obat rutin. Tubuhnya kurus, tapi geraknya lincah tidak lemas seperti tanggapan sebagian orang, ia lincah, berlari dengan aktif, suka tersenyum, cepat beradaptasi, dan tidak cengeng. Memang ia sulit sekali makan terutama makan buah-buahan.
Menjelang usia 2 tahun, BB nya baru 8,4 Kg. saya pernah konsul ke dokter anak, katanya harus ganti susu formula Chil Kid yang harganya cukup “wah‘ bagi kami suami-istri yang berpenghasilan ngepas, apalagi dipotong dengaan kebutuhan 1 bulan. Maka tak heran, jika ada orang yang tak paham riwayat penyakit anak saya akan heran atau berkomentar pedas, “Wah suami-istri sarjana, kok anaknya kurang gizi ya?” pedas memang, tapi harus ditelan. Karena tak ada pilihan, itulah kenyatannya.
Lama-lama saya mulai terpancing komentar orang, apa iya sih anak saya terlalu mundur perkembangannya? Atau berbeda dengan temannya? Tapi setelah saya konsul dengan guru Play group-nya, perkembangan motoriknya bagus, ia senang menulis, menabur dan susun balok.
“Sudahlah jangan dipikirkan teguran orang, mungkin itu bentuk perhatian mereka,” ujar suami saya menghibur. Ya, tak ada kata lain, kita memang harus bersyukur atas titipan Allah SWT. Bagaimanapun anak kita, itulah yang terbaik. Harus bersyukur, karena masih banyak orang lain yang menanti kehadiran buah hati dengan penantian panjang. Masih banyak orang yang memiliki anak yang tak sempurna (cacat), tapi mereka sungguh sabar, tidak mengeluh dan pe-de memperkenalkan anak mereka, tak ada rasa minder apalagi malu. Nah, saya mencoba meniru dan mempraktekannya. Walau sedikit hati kecewa terhadap sikap si Ibu, “mbok ya ucapan lebih empati dong, pilih kata yang lebih halus kek,”batin saja.
Maka, ketika teguran ketiga menyapa: “Kok tambah lemes sih?” kata si Ibu, saya tanggapi dengan wajah cerah. Saya terangkan karena anak saya baru saja kena mencret dan muntah akibat salah makan. Ia makan jeruk, nata de coco dan mencicipi kopi buatan suami saya. Akibatnya anak saya 3 hari mencret. Tak seperti pertemuan 1 dan 2, kami terlibat ngobrol cukup panjang, pada akhirnya si Ibu menawarkan produk obat herbal.
“Pake omega 3 saja itu bagus buat pertumbuhan anak yang BB nya kecil. Juga tambah dengan Sipiriluna. Tapi mahal lho harganya,” promosi si Ibu.
“Berapa?” saya mulai tertarik, “Boleh nyicil nggak, karena uang gaji sudah tersedot untuk susu,” tawar saya. Si Ibu menyebutkan harga obat herbal tersebut.
"Harganya….bla…bla…” si ibu menjelaskan. Diam-diam di hati saja berkomentar, “Wah ternyata si Ibu selama ini mau mempromosikan dagangannya toh? Sehingga memancing dengan kata sapaan “Kok lemes sih?” seharusnya, lebihh empati dengan kata : “Anak ibu kurang nafsu makan ya? Saya kenal obat herbal perangsang nafsu makan lho! Memang harganya cukup mahal, tapi berkhasiat untuk menambah BB, saya sudah mencoba ke anak saya,” bukankah ucapan demikian lebih baik, lebih empati dan lebih berkesan?
Ya, dalam pergaulan masyarakat kita harus memilah kata agar tak membuat hati orang terluka, bukankah pepatah mengatakan: “Mulutmu harimaumu,” semoga kitapun dapat mengambil hikmahnya untuk memilih kata sapaan yang lebih empati
Labtu, 5 Februari 2008
Naqiyyah Syam
Selang berapa hari bertemu lagi, kali ini anak saya juga ikut serta. Tegurannya tak berubah, “Kok tambah lemas sih?” tentu saja teguran itu tertuju untuk anak saya. Memang beberapa hari ini ia sakit. Sariawan, sehingga sulit makan. Hanya itu jawaban saya. Karena saya sudah malas berkomentar banyak. Dalam hati saya membatin, “Duh apa nggak ada kata sapaan yang lebih empati, ya?” emang sih anak saya tubuhnya kecil. Tak sedap didengar tapi kenyataan, kata orang medis ‘kurang gizi’. Padahal lahirnya cukup normal, Berat Badan (BB) 2,8 Kg. Tapi, tak bisa disangkal kenyataannya tubuhnya kurus.
Sejak lahir ia sering sakit-sakitan, 1,5 bulan ia harus diterapi akibat benjolan di sebelah kiri lehernya akibat trauma pada otot leher karena persalinan sungsang bokong murni. Menjelang usia 8 bulan, ia kena diare, akhirnya terpaksa di opname setelah 4 hari mengalami diare dan menghalami dehidrasi. Usia 11 bulan ia batuk (bronhitis) dan harus di opname di RS. Setelah di cek up, anak saya dinyatakan menggidap TBC. Sejak itu, selama 6 bulan makan obat rutin. Tubuhnya kurus, tapi geraknya lincah tidak lemas seperti tanggapan sebagian orang, ia lincah, berlari dengan aktif, suka tersenyum, cepat beradaptasi, dan tidak cengeng. Memang ia sulit sekali makan terutama makan buah-buahan.
Menjelang usia 2 tahun, BB nya baru 8,4 Kg. saya pernah konsul ke dokter anak, katanya harus ganti susu formula Chil Kid yang harganya cukup “wah‘ bagi kami suami-istri yang berpenghasilan ngepas, apalagi dipotong dengaan kebutuhan 1 bulan. Maka tak heran, jika ada orang yang tak paham riwayat penyakit anak saya akan heran atau berkomentar pedas, “Wah suami-istri sarjana, kok anaknya kurang gizi ya?” pedas memang, tapi harus ditelan. Karena tak ada pilihan, itulah kenyatannya.
Lama-lama saya mulai terpancing komentar orang, apa iya sih anak saya terlalu mundur perkembangannya? Atau berbeda dengan temannya? Tapi setelah saya konsul dengan guru Play group-nya, perkembangan motoriknya bagus, ia senang menulis, menabur dan susun balok.
“Sudahlah jangan dipikirkan teguran orang, mungkin itu bentuk perhatian mereka,” ujar suami saya menghibur. Ya, tak ada kata lain, kita memang harus bersyukur atas titipan Allah SWT. Bagaimanapun anak kita, itulah yang terbaik. Harus bersyukur, karena masih banyak orang lain yang menanti kehadiran buah hati dengan penantian panjang. Masih banyak orang yang memiliki anak yang tak sempurna (cacat), tapi mereka sungguh sabar, tidak mengeluh dan pe-de memperkenalkan anak mereka, tak ada rasa minder apalagi malu. Nah, saya mencoba meniru dan mempraktekannya. Walau sedikit hati kecewa terhadap sikap si Ibu, “mbok ya ucapan lebih empati dong, pilih kata yang lebih halus kek,”batin saja.
Maka, ketika teguran ketiga menyapa: “Kok tambah lemes sih?” kata si Ibu, saya tanggapi dengan wajah cerah. Saya terangkan karena anak saya baru saja kena mencret dan muntah akibat salah makan. Ia makan jeruk, nata de coco dan mencicipi kopi buatan suami saya. Akibatnya anak saya 3 hari mencret. Tak seperti pertemuan 1 dan 2, kami terlibat ngobrol cukup panjang, pada akhirnya si Ibu menawarkan produk obat herbal.
“Pake omega 3 saja itu bagus buat pertumbuhan anak yang BB nya kecil. Juga tambah dengan Sipiriluna. Tapi mahal lho harganya,” promosi si Ibu.
“Berapa?” saya mulai tertarik, “Boleh nyicil nggak, karena uang gaji sudah tersedot untuk susu,” tawar saya. Si Ibu menyebutkan harga obat herbal tersebut.
"Harganya….bla…bla…” si ibu menjelaskan. Diam-diam di hati saja berkomentar, “Wah ternyata si Ibu selama ini mau mempromosikan dagangannya toh? Sehingga memancing dengan kata sapaan “Kok lemes sih?” seharusnya, lebihh empati dengan kata : “Anak ibu kurang nafsu makan ya? Saya kenal obat herbal perangsang nafsu makan lho! Memang harganya cukup mahal, tapi berkhasiat untuk menambah BB, saya sudah mencoba ke anak saya,” bukankah ucapan demikian lebih baik, lebih empati dan lebih berkesan?
Ya, dalam pergaulan masyarakat kita harus memilah kata agar tak membuat hati orang terluka, bukankah pepatah mengatakan: “Mulutmu harimaumu,” semoga kitapun dapat mengambil hikmahnya untuk memilih kata sapaan yang lebih empati
Labtu, 5 Februari 2008
Naqiyyah Syam
Posting Komentar untuk "Jual Obat"
Terima kasih telah meninggalkan jejak. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menghindari spam. Mohon juga follow blog, Google +, twitter: @Naqiyyah_Syam dan IG saya : @naqiyyahsyam. Semoga silaturahmi kita semakin terjalin indah ^__^