-->
Badanku terasa mengecil, mengkerut, dan hampa seakan tanpa nadi. Aku sendiri terpaku dalam tanya. Sungguh, semua ini menjadi ‘momok’ dalam pekan terakhir. Kenyataan tak seindah bayangan. Bodohnya aku terlalu bergantung pada kelulusan. Rasanya kepala dipukul dengan palu besar. Ah, aku terlalu berlebihan. Tenang, tenang, sabar, sabar, bisik hatiku yang lain.
“Pengumuman sudah keluar, aku dan Mbak Uning, nama mbak tidak ada,” ujar Kibty, teman satu profesiku di SDIT Baitul Muslim ini . Usianya memang di bawahku. Terpaut 2 tahun, itu sebabnya ia memanggilku mbak bukan bu.
“Tau dari mana?” tanyaku penasaran.
“Koordinator kelas yang nelpon tadi malam,” ujarnya lagi. Set! Akhir mataku mendesak untuk jebol. Kakiku gemetar. Astaga maagku seakan demo minta diurus. Aku shock. Benarkah tidak lulus kenapa? Berkali-kali kutanya pada hatiku. Apa yang salah? Keaktifankah? Kurasa tidak, aku selalu aktif bertanya, berdiskusi, mengerjakan tugas, setiap sesi materi yang disampaikan dosen-dosen FKIP itu. Apakah nilai? Kurasa juga bukan itu. Saat peer teaching, penampilanku dinilai terbaik oleh dosen pembimbing. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang kubuat tak ada perbaikan, artikulasi, metode mengajar, media, dan cara penyampaian kurasa sudah lebih dari standar. Lalu apa? Kucari-cari dalam bilik hati yang teriris dengan berita kegagalanku. Apakah karena harapanku yang kian besar untuk lulus?Apa salah? Setiap orang punya harapan dan keinginan, bukan? Ah…
Sejak makhluk bernama sertifikasi guru lahir. Sebenarnya aku sudah sadar diri. Kuakui masa mengajarku belumlah 2 tahun. Aku tak pantas mendaftar! Tapi, menurut Kepala Sekolah dan pihak Kantor Cabang Dinas Pendidikan, kouta SD swasta masih kurang.
“Sayang kalau tidak ikut, kouta yang kosong akan diambil oleh kabupaten lain. Ikut saja, toh kalau tidak lulus ada diklat. Ambil ilmunya saja dulu.” Begitu pesan seorang bapak yang menjadi koordinator sertifikasi di tempatku tinggal. Dan akhirnya aku punya nomor sertifikasi.
“Kamu lulus portofolio bukan karena KKN, tapi memang kouta untuk SD Swasta kurang,” kata pengurus Yayasan Baitul Muslim menenangkan hati.
Aku masih penasaran, kuingat ucapan seorang dosen yang tajam dan mematahkan.
“Kalau saya jadi kepala sekolah Anda, saya tidak akan mengizinkan Anda mengikuti sertifikasi, wong belum memenuhi syarat masa mengajar kok,” ujar Pak Syamsul.
“Pasti portofolio Anda dimanipulasikan?” tanyanya tajam. Suasana kelas senyap. Seluruh mata memandang ke arahku yang duduk di tengah-tengah dari 28 peserta. Aku terpojok.
“Saya tidak manipulasi, Pak. Saya hanya mengikuti himbauan dari dinas untuk ikut mendaftar, karena kouta masih kurang dan kepala sekolah saya mengizinkan dan beliau yang mendaftarkan seluruh guru yang S1, saya dapat panggilan, bukan merekayasa! Apalagi menyogok!” jelasku membela diri. Aku tersulut emosi.
Ia tertawa kecil diikuti peserta yang lain. Mungkin mengejek atau juga geli melihatku yang terpancing emosi.
“Jelas saja Anda mau ikut, wong buat ngejar duit. Siapa sih nggak mau duit?!” ujarnya. Beberapa peserta tertawa ngakak. Ulu hatiku tertohok. Sakit sekali. Peserta yang lain ada yang ikut tertawa, ada yang senyum-senyum, ada juga yang merasa iba padaku.
“Lah Pak, kalo saya tidak layak lulus, kenapa saya dipanggil diklat?’ tanya saya lagi.
“Ya..itulah kesalahan sistem. Tapi saya juga tak menyalahkan Anda. Mungkin untuk perbaikan ke depan. Dinas perlu selektif lagi. Tapi kalo saya jadi kepala dinas, saya tidak akan meluluskan orang seperti Anda, karena pasti akan terjadi gejolak pada sekolah lainnya atau bahkan pada ribuan guru yang lainnya yang tidak lulus portofolio.” ujarnya menutup pembicaraan, walau sudah dibantu Mbak Uning menjelaskan, bahwa memang banyak sekolah swasta yang tidak ikut diklat. Tapi bukan karena mereka tidak lulus portofolio, tapi karena mereka memang tidak mendaftar akibat kurangnya informasi atau sosialisasi tentang portofolio, atau karena guru SD swasta di kabupaten kami masih jarang yang memenuhi jenjang S1. Tapi, tetap saja Pak Syamsul bersekukuh dengan pendapatnya. Bahkan dengan nada sedikit mengertak Ia tidak akan meluluskan peserta sepertiku. Baginya, aku korban kesalahan sistem. Ah, aku capek!
Sembilan hari kulalui hari-hari mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG). Meninggalkan buah hatiku Ismail. Salah satu motivasiku mengikuti sertifikasi guru adalah untuk kesejahteraan anakku Ismail. Dari bayi, Ismail tak hentinya sakit. Lahir sungsang dengan berat 2,8 Kg. Dua minggu kemudian, ditemui kelenjar sebesar telur ayam kampung di leher sebelah kirinya. Akhirnya diperlukan terapi. Syukurlah 5 kali terapi kelenjar itu mengempis dan kepalanya normal mengeleng ke kanan dan ke kiri. Padahal umurnya waktu itu baru usia 1,5 bulan tapi harus dibawa mengendarai motor berjarak sekian kilo untuk terapi. Kubungkus rapat tubuhnya dengan selimut hangat. Berangkat jam 10, mulai terapi setelah sholat dzhur dan pulang ke rumah yang ditempuh selama 1 jam setelah asar, bahkan ketika antrian pasien lebih banyak kami baru bisa pulang selepas magrib. Pastilah cukup melelahkan bagi bayi merah seusia Ismail. Tapi kala itu, tak ada pilihan lain. Menyewa mobil mahal. Belum biaya bensin, rokok supir, makan di jalan, parkir dan lainnya. Membengkak. Lebih hemat menggunakan motor.
Ismail harus kuat. Begitu yang kuharapkan pada namanya. Seperti Nabi Ismail yang kuat, shaleh, taat perintah Allah dan orang tuanya. Harapan standar bagi semua orang tua. Usia 8 bulan Ismail diare dan harus di opname. Ia mengalami dehidrasi. Akibat tak punya biaya berobat, saat itu, kami hanya memberikan obat dari Bidan yang tak kunjung ada perubahan setelah 4 hari. Hari ke-5 Ismail harus di opname di Balai Pengobatan (BP). Badannya sangat kurus karena kekurangan cairan. Bahkan menangis pun tak keluar air matanya. Kian hari badannya semakin menyusut hingga usia 11 bulan, dokter menyatakan Ismail menderita TBC. Bagai disengat listrik, aku terkulai dengan kenyataan. Anakku kena TBC? Kok bisa?
Diusia 1 th bobot Ismail hanya 7,0 Kg. Ia sulit sekali makan, apalagi buah-buahan. Ismail selalu mudah sariawan, panas dan rewel. Saat itu aku tak punya pilihan untuk terus mendampinginya di rumah. Menjadi ibu rumah tangga saja, meninggalkan aktivitasku selama ini. Hingga 6 bulan Ismail mengkonsumsi obat TBC dari Puskesmas, berat badannya mulai meningkat. Walau hanya 1-2 ons, tak stabil hingga usianya menjelang 2 tahun tetap dibawah 8,5 Kg. Tak beranjak. Kata dokter spesialis anak, Ismail harus ganti merk susu formula. Ia memang tak ASI lagi sejak usia 1,5 tahun. Tak ada paksaan, hanya kebetulan saja terpaksa disapih. Saat itu badanku panas tinggi dan muntah-muntah. Esoknya Ismail menolak minum ASI. Sejak itu Ismail tergantung dengan susu formula. Biasanya Ismail mengkonsumsi susu formula termurah, merk standar saja. Tapi saran dokter harus diganti karena tubuh Ismail yang sangat kekurangan gizi.
Sebenarnya aku tak sedap mendengar anakku kurang gizi. Tapi apa mau dikata, begitulah kenyataannya. Ia susah makan, baik sayuran apalagi buah-buahan. Kata dokter, kalo mau tubuh Ismail bobotnya naik, susunya diganti dengan susu Chil Mil yang harganya sangat mahal bagi kantong kami. Untuk berat 800 kg seharga Rp.145.000,- ini hanya cukup untuk 7 hari. Jadi jatah 30 hari atau 1 bulan bisa menghabiskan 4 kaleng ukuran 800 Kg atau sekurang-kurangnya menghabiskan dana Rp. 580.000. Sangat kontras dengan pendapatan kami yang digabung berdua 1 bulan yang hanya Rp. 1.300.000,-. Bila dihabiskan untuk susu saja, sisanya hanya Rp. 720.000. Dipotong sewa rumah, listrik, beras, sayuran, ongkos dan sebagainya sungguh melilit tali pinggang.
Itulah sebabnya aku ingin sekali lulus sertifikasi. Paling tidak beban di pundak suamiku yang bekerja swasta berkurang. Kesehatan Ismail terjamin dan asap dapur tetap ngepul. Tapi kini harapan itu menipis. Memang dijanjikan bagi yang tidak lulus diklat pada ujian pertama, akan diberi kesempatan untuk ujian kedua dan ketiga. Tapi apa menjamin? Toh janji muluk yang diberikan dosen koordinator kelas dulu bagai busa sabun yang ditiup angin. Hilang tak berbekas.
“Tak usah ngoyo ikut diklat, santai saja, tapi juga jangan main-main. Peserta yang sudah ikut sekarang, saya jamin 99% akan lulus.”
“Apa digabung dengan nilai portofolio, Pak? Tanya salah seorang peserta.
“Tidak. Semua nol. Yang diambil hanya nilai ketika diklat. ” begitu penjelasannya. Kini, kira-kira aku tidak lulus karena apa ya?
“Takdir, sayang. Mungkin semua ada hikmahnya,” ujar suamiku menghibur. Kurasa, ia menutupi kejujuran hatinya. Kalo boleh kutebak hatinya pasti risau. Harapan uang lulus sertifikasi akan membantu biaya kehidupan kami. Menyambung kontrak rumah yang sebentar lagi habis, biaya cicilan motor, dan yang paling urgen adalah biaya kesehatan Ismail.
“Terus berjuang, Dek Ayu,” pesan Bu Siti via sms ketika tahu aku tidak lulus.
“Ayu, kabarnya tes ulang itu setelah selesai diklat semuanya. Nanti ada pengumuman lanjutan, sabar ya, Ayu.” sms Bu Tini. Beliau teman sekamarku.
Ya, walau pun aku sedih, aku sudah bahagia mendapat ilmu ketika PLPG.
“Bersabar ya, ini mungkin kesalahan komunikasi dengan pihak panitia. Anda ikut diklat bukan KKN kok, dinas sudah melakukan sesuai prosedur,“ ujar seorang Bapak yang telah lulus.
“Mungkin kamu lupa jawab soal tentang deklinasi,” ujar kepala sekolahku berkelakar. Mengingung soal ujian Fisika. Aku tersenyum getir, teringat beban di hadapanku. Tagihan yang mengejar dan kontrakan yang harus diperpanjang.
* * *
Itulah kisahku. Dua tahun yang lalu. Setelah tes kedua kalinya. Aku akhirnya lulus sertifikasi dan Alhamdulillah kini Ismail tumbuh sehat dan jarang sakit lagi. Suamiku sudah lulus CPNS di Deptan. Allah memang Maha Mendengar pinta hamba-Nya. Aku telah mencobanya dengan doa-doa panjangku. Melewati masa krisis pernikahanku dan melewati kisah suka-duka sebagai guru swasta. Semoga ada hikmahnya!
Lampung Timur, 14 Januari 2008-2010
dalam rangka kontes blong disponsori oleh http://denaihati.com/
Makasih, Mbak sudah berpartisipasi :) linknya sudah saya kirim ke juri :)
BalasHapusTernyata ini juaranya, juara lomba kontes kisah sejati. Tp bagi saya mbak Naqqiyah juara juga dalam kehidupan mbak, saya terharu sekali membaca kisah mbak, semoga Allah selalu melindungi Isma'il, mbak Naq dan suami selalu. Saya langsung menyayangi kalian setelah membaca kisah ini. Salam utk Ismail ya mbak, peluk cium untuknya.
BalasHapusSelamat utk kemenangannya mbak.. Benar apa yg ditulis mbak Winny di atas, bahwa kisah mbak Naq benar2 luar biasa. Allah telah menjawab semua kesabaran dan doa2 yg mbak panjatkan.
BalasHapusHmmmm...memang layak menjadi pemenang. Benar-benar kisah yang sejati. Inspiratif dan motivatif.
BalasHapusSelamat bu.....
Membaca tulisan ini, saya semakin percaya bahwa dewan juri tidak salah jika menjadikan tulisan ini adalah yang terbaik. Sabar, tabah dan tiada putus asa berjuang dan berdo'a akan berakhir dengan kebahagiaan, itulah hikmah yang saya ambil dari kisah ini.
BalasHapusSelamat Bu, selamat atas keberhasilan Ibu melewati ujian dan juga selamat atas keberhasilan ibu berbagi kisah sejati, semoga hadianya barokah. amin. salam buat Ismail.
Alhamdulillah....semoga berkah amiin ;)
BalasHapusAnazkia : terima kasih ya, Alhmdulillah akhirnya menang:D
BalasHapusWinny : terima kasih ya, ini memang ujian cinta dalam kehidupanku:)
Reni : makasih
Yans : semoga mendapat hikmahnya, alhamdulillah semua kini telah terlalui:)
Nurudin : iya Makasih juga doa-doanya
Sin : Amiiin, makasih sudah mampir blog saya ya
mbak, selamat ya! tulisannya keren pisan.. ^^b
BalasHapusSebelum baca isinya, saya lihat judulnya. Sengaja atau typo-kah itu? Serifikasi...
BalasHapusselamat yah mbak atas juaranya.. :D
BalasHapushmmmmmmm,
BalasHapusTeringat masa getir saat lalu, jadinya.
Walau sekarangpun kian getir dengan balutan pait masalah yang lain.
hmm.. ceritanya, mirip kejadian sekarang. bener-bener nyata dan miris deh ngeliatnya.
BalasHapusselamat ya mbak, udah menang di kontes blog... salut deh, ceritanya!!
Subhanallah.. Mbak Syam, rupanya jadi banyak yang kemari :)
BalasHapussaya jadi terharu... ga kerasa air mata saya menetes....... salam kenal!!!
BalasHapusselamat mb untuk kemenangannya... wah..jd terharu nih bacanya..
BalasHapusmb ajarin dong menulis cerita :)
follow^^
Aslkm. Salam kenal Mba. Selamat yah atas kemenangannya. Ceritanya bikin terharu. Saya juga waktu awal menikah banyak banget cobaannya. Tapi alhamdulillah Allah membukakan pintu rezekinya kepada kami :-)
BalasHapusSuryadi van Batavia : maaf pak, baru belajar buat blog, masih bingung ngeditnya bagaimana, berkali2 gagal:)
BalasHapussaidialhady : terima kasih ya:)
Ari : terima kasih ya
Anazkia : iya, jadi tambah saudara
ntiem's : salam kenal juga ya:)
aishilely : ayooo tag tulisannya, biar kita bisa share
Zulfadhli's Family : betul, rezeki itu akan tiba waktunya
Blog yg bagus
BalasHapusJoni Lis Efendi : terima kasih sudah berkunjung
BalasHapusehue...eheu...kisah yang menyentuh...
BalasHapusterima kasih atas kunjungannya Mak:)
HapusKeren banget Mbaa, aq sampe ikut hanyut dalam cerita, luar biasa
BalasHapus